Friday, July 29, 2016

Kerja Sampingan


Sejak kecil, gue sudah mulai dididik untuk menjadi seorang pencari nafkah yang hebat. Gue lahir yang keluar pengusaha. Dimulai dari kakek, anak, sampai cucu rata-rata pengusaha semua.

Bokap gue juga mulai menasehati gue ketika gue SD, “Hariyo, kalau kamu sudah besar nanti, cari pekerjaan yang pas dan pastinya memiliki penghasilan yang cukup, mengerti!!?

“Mengerti, pa”

“Mengerti!!!?”

“Iya, pa mengerti”

“Mengerti, gak?”

“IYE.”

Dulu gue memang bercita-cita menjadi seorang pengusaha. Dan ketika gue memilih cita-cita tersebut, gue mulai belajar marketing meskipun gue belajarnya cuma 1 menit doang, 1 hari belajar selama 1 menit selebihnya tidur. Sampai-sampai ketika gue mengidolakan Bill Gates, gue bilang "Aku mau jadi seperti itu" dan sepertinya itu cuma khayalan gue. 

Gue berpikir kalau dengan teori saja belum cukup membuktikan. Akhirnya gue memutuskan untuk memulai bisnis gue. Bisnis pertama yang gue buat adalah e-commerce. Ketika itu gue terinspirasi dengan toko-toko online yang cukup terkenal dan memiliki nilai penghasilan yang besar. Hal ini memotivasi gue untuk memulai bidang ini.

Yang pertama kali yang gue lakukan adalah membeli buku tentang e-commerce. Waktu itu, uang jajan gue masih berkisar 5000 dan gue terpaksa menabung uang untuk membeli buku tersebut. Sampai sekarang buku ini masih tersimpan rapi di rak lemari gue. Dan gue seharusnya tidak membelinya karena seharusnya gue tahu, gue gak akan mengerti dengan isi buku ini karena gue juga gak tahu tulisan-tulisannya. Wajar juga sih karena waktu itu gue juga belum begitu suka dengan membaca.

Uang gue terbuang sia-sia dengan membeli buku ini. Sehingga Nyokap gue merasa aneh terhadap gue, kenapa uang jajan gue cepat sekali habisnya? Gue mesti menyimpan buku tersebut secara diam-diam. Gak mungkin juga gue bakar atau gue buang, atau malah gue kasih ke sopir gue. Mungkin dia akan melakukan seperti apa yang gue lakukan.

E-commerce gagal menjadi bisnis pertama gue. Akhirnya gue mencari ide baru untuk memulai bisnis. Gue mencari ide sambil nanya ke Nyokap.

“Ma, di rumah ini ada barang yang bisa dijual, gak?”

“Oh, ada. Tuh, mainan yang dulu kamu rusakin kamu jual aja” kata Nyokap, tertawa.

Setahun kemudian, gue mendapat kabar kalau Bibi gue memperkenalkan bisnis baru, yaitu jualan pulpen yang bisa dihapus. Gue pikir, bagus juga pulpen bisa dihapus. Karena dulu gue orangnya suka inovasi, akhirnya gue memutuskan menjual pulpen gue. Nyokap membagi pulpen tersebut kepada gue, abang, dan adik gue. Kami bertiga berkompetisi menjual pulpen terbanyak.

Gue datang ke sekolah pagi-pagi dan mulai promosi. Strategi promosi yang gue lakukan waktu itu adalah menawarkan pulpen ke beberapa kelompok. Misalkan, ketika ada sekelompok cewek atau cowok sedang berkumpul, gue akan meramaikan suasana dengan menjual pulpen tersebut. Namun, sampai jam pulang sekolah ternyata gak ada yang beli. Gue pulang dengan perasaan kecewa. Nyokap gue menyemangati gue untuk cari cara lain.

Besoknya gue kembali menjual pulpen gue dan akhirnya ada yang beli. Stok pulpen yang gue jual semakin dikit hingga akhirnya sold out. Uang yang gue dapatkan gue berikan ke Nyokap, yah mungkin itu sudah sewajarnya.

Beberapa tahun kemudian, gue berhenti berjualan pulpen. Setelah tamat SMP, gue pindah sekolah. Saat SMA, gue berkenalan dengan teman yang juga memulai bisnis  dalam menjual barang-barang software dan hardware. Gue menawarkan diri untuk ikut bergabung dan akhirnya gue bergabung. Setiap harinya gue mempromosikan barang-barang yang akan dijual di media sosial, meskipun harganya tidak sesuai isi dompet. Kontribusi gue dalam bisnis itu adalah gue berhasil menjual flashdisk dan software Adobe. Gue pernah mempromosikan Oculus Rift, tapi sepertinya barang seperti itu terlalu mahal untuk dijual.

Kelas 2 SMA, teman gue akhirnya tidak berjualan lagi dan otomatis gue juga tidak berjualan lagi. Bibi gue kembali menawarkan bisnis baru yang dia dapatkan, yaitu jualan pulsa. Meskipun penghasilannya sedikit, tapi tetap gue coba.

Gue mulai berjualan pulsa dan menawarkan diri untuk mengisi pulsa teman-teman gue, yang pastinya bayar. Beberapa teman gue meminta gue mengisi pulsanya dan terkadang rata-rata gagal masuk sehingga gue juga terkadang mengalami kerugian. Kebanyakan yang meminta gue untuk isi pulsa yaitu Paman dan Bokap gue. Ketika mereka mengetahui gue jualan pulsa, gue selalu dikejar-kejar. Bahkan ketika gue lagi di sekolah, gue harus terburu-buru mengisi pulsa mereka.

Hingga akhirnya gue kelas 3 SMA, gue mulai berhenti jualan pulsa karena handphone gue rusak. Dan ketika itu gue menyadari satu hal, gue gak cocok menjadi seorang pengusaha. Bahkan gue beranggapan pengusaha merupakan karir yang cukup merepotkan karena gue sudah sering mengamatinya. Setiap hari, di rumah gue selalu terdapat suara teriakan dari orang-orang yang sedang bekerja. Setiap hari harus pergi ke Bank, setiap hari harus mengambil bon tanda terima, setiap hari harus ketemu klien, dll.


Mungkin juga, gue bisa menjadi seorang keturunan pertama yang tidak menjadi pengusaha. Sekali-sekali menjadi yang beda itu lebih baik. 

No comments:

Post a Comment