Thursday, November 16, 2017

Bisa Bahasa Medan Kan?

Terakhir kali gue ke Surabaya ketika gue akan berkuliah disana. Agak bingung juga karena mayoritas penduduk di Surabaya bisa berbahasa Jawa. Ini menjadi tantangan berat untuk gue karena gue sendiri pun tidak paham dengan bahasa mereka. Meskipun lingkungan rumah gue kebanyakan orang Jawa, gue masih bisa mentolelir bahasa Jawa di lingkungan rumah gue. Tetapi setiba di Surabaya sendiri, bahasa Jawa yang gue dengar ternyata tidak sesuai perkiraan gue. Seakan-akan gue perlu sekolah bahasa Jawa setahun untuk bisa berkomunikasi di Surabaya. Seperti masuk perguruan tinggi di luar negeri yang dianjurkan untuk sekolah bahasa negara mereka selama 1 tahun.

Karena gue gak tahu apapun dengan bahasa mereka, maka dari itu gue membuat sebuah strategi agar tidak ada seorang pun di Surabaya yang berbicara dengan gue memakai bahasa Jawa, yaitu ngaku kalau gue berasal dari Medan.

Suatu hari, gue naik taxi dari kampus menuju rumah gue. Saat masuk kedalam mobil, sesi Q&A dengan supirnya pun dimulai. Supirnya mengobrol dengan gue memakai bahasa Jawa. Hati gue mulai gelisah. Karena gue adalah orang yang menghargai seseorang yang berkomunikasi dengan gue meskipun agak nyebelin, maka dari itu gue tetap harus menyahut apa yang dikatakan oleh supir tersebut meskipun sebenarnya gue gak ngerti apa yang ia katakan. Yang gue lakukan hanya mengatakan “Iya” saja. Kadang gue juga mengatakan “Ooo” atau “Hah?” atau bahkan pura-pura tidak dengar. Supir taxi itupun menyadari kalau gue bukan orang Surabaya dan tidak mengerti bahasa Jawa, Maka ia mulai berbicara bahasa Indonesia dengan normal dengan gue. Dalam hati gue berkata “Nah, gitu dong. Dari tadi bukannya gini aja, yaelah elu.”

“Mas asalnya dari mana?” Tanya supir taxi, penasaran.

“Saya asalnya dari Medan?” kata gue sambil tersenyum.

“Oh dari Medan…. bisa bahasa Medan dong berarti” Tanya supir tersebut. Gue kesel kembali.

Dalam konteks pertanyaan supir tersebut mengatakan bahwa Bahasa Medan = Bahasa Batak, yang artinya supir tersebut mengira kalau gue bisa bahasa Batak. Oke, gue jelasin deh. Pertama, gue bukan orang Batak, kedua gue gak bisa bahasa Batak, ketiga gue gak pernah belajar bahasa Batak, dan keempat, LO KIRA SEMUA ORANG MEDAN BISA BAHASA BATAK!!!?.

Karena kesel, akhirnya gue menjelaskan secara pelan-pelan mengenai pertanyaan yang diajukan supir tersebut. Karena sebenarnya, sejarah penduduk di Medan aslinya adalah suku Melayu dan penguasa kota Medan yaitu Sultan Deli adalah orang Melayu. Suku Batak dan suku lainnya di Sumatera Utara yang datang ke Medan dulu adalah suku pendatang karena suku Batak aslinya berasal dari Pulau Samosir yang tepatnya berada di Danau Toba (Pulau Samosir berada di tengah Danau Toba). 

Gue tidak tahu apa yang terjadi hingga akhirnya banyak suku batak yang akhirnya menjadi suku mayoritas di Medan. Tetapi setahu gue, bukan hanya suku Batak saja yang banyak di Kota Medan. Ada juga suku Karo, Nias, Melayu, Jawa,  Tionghoa, dan suku lainnya. Tapi aneh juga gue yang dilihat dari wajah dan mata gue yang sipit, sudah pasti gue adalah keturunan Tionghoa. Tetapi gue malah dicap sebagai orang Batak. 

Mungkin yang supir taxi itu maksud bahasa Medan itu seperti, “anj*nggg kau”, “kupijak nanti kau baru tau rasa”, atau “gak usah banyak cincong kau kim*k.” Namun, gue mengurungkan mengatakan itu karena gue takut diberhentikan di pinggir jalan oleh supirnya. Kalau gue beneran berkata begitu, mungkin supir taxi itu akan mengatakan hal ini dalam hatinya, “sejauh ini masih saya pantau, entar juga saya sleding kepala nih bocah.”