Terakhir kali gue ke
Surabaya ketika gue akan berkuliah disana. Agak bingung juga karena mayoritas
penduduk di Surabaya bisa berbahasa Jawa. Ini menjadi tantangan berat untuk gue
karena gue sendiri pun tidak paham dengan bahasa mereka. Meskipun lingkungan
rumah gue kebanyakan orang Jawa, gue masih bisa mentolelir bahasa Jawa di
lingkungan rumah gue. Tetapi setiba di Surabaya sendiri, bahasa Jawa yang gue
dengar ternyata tidak sesuai perkiraan gue. Seakan-akan gue perlu sekolah bahasa
Jawa setahun untuk bisa berkomunikasi di Surabaya. Seperti masuk perguruan
tinggi di luar negeri yang dianjurkan untuk sekolah bahasa negara mereka selama
1 tahun.
Karena gue gak tahu
apapun dengan bahasa mereka, maka dari itu gue membuat sebuah strategi agar
tidak ada seorang pun di Surabaya yang berbicara dengan gue memakai bahasa Jawa,
yaitu ngaku kalau gue berasal dari Medan.
Suatu hari, gue naik
taxi dari kampus menuju rumah gue. Saat masuk kedalam mobil, sesi Q&A
dengan supirnya pun dimulai. Supirnya mengobrol dengan gue memakai bahasa
Jawa. Hati gue mulai gelisah. Karena gue adalah orang yang menghargai seseorang yang
berkomunikasi dengan gue meskipun agak nyebelin, maka dari itu gue tetap harus menyahut apa yang dikatakan oleh supir tersebut meskipun sebenarnya gue gak
ngerti apa yang ia katakan. Yang gue lakukan hanya mengatakan “Iya” saja.
Kadang gue juga mengatakan “Ooo” atau “Hah?” atau bahkan pura-pura tidak
dengar. Supir taxi itupun menyadari kalau gue bukan orang Surabaya dan tidak
mengerti bahasa Jawa, Maka ia mulai berbicara bahasa Indonesia dengan normal
dengan gue. Dalam hati gue berkata “Nah, gitu dong. Dari tadi bukannya gini
aja, yaelah elu.”
“Mas asalnya dari
mana?” Tanya supir taxi, penasaran.
“Saya asalnya dari
Medan?” kata gue sambil tersenyum.
“Oh dari Medan…. bisa
bahasa Medan dong berarti” Tanya supir tersebut. Gue kesel kembali.
Dalam konteks
pertanyaan supir tersebut mengatakan bahwa Bahasa Medan = Bahasa Batak, yang
artinya supir tersebut mengira kalau gue bisa bahasa Batak. Oke, gue jelasin
deh. Pertama, gue bukan orang Batak, kedua gue gak bisa bahasa Batak, ketiga
gue gak pernah belajar bahasa Batak, dan keempat, LO KIRA SEMUA ORANG MEDAN
BISA BAHASA BATAK!!!?.
Karena kesel, akhirnya
gue menjelaskan secara pelan-pelan mengenai pertanyaan yang diajukan supir
tersebut. Karena sebenarnya, sejarah penduduk di Medan aslinya adalah suku
Melayu dan penguasa kota Medan yaitu Sultan Deli adalah orang Melayu. Suku
Batak dan suku lainnya di Sumatera Utara yang datang ke Medan dulu adalah suku
pendatang karena suku Batak aslinya berasal dari Pulau Samosir yang tepatnya berada
di Danau Toba (Pulau Samosir berada di tengah Danau Toba).
Gue tidak tahu apa yang terjadi hingga akhirnya
banyak suku batak yang akhirnya menjadi suku mayoritas di Medan. Tetapi setahu
gue, bukan hanya suku Batak saja yang banyak di Kota Medan. Ada juga suku
Karo, Nias, Melayu, Jawa, Tionghoa, dan
suku lainnya. Tapi aneh juga gue yang dilihat dari wajah dan mata
gue yang sipit, sudah pasti gue adalah keturunan Tionghoa. Tetapi gue malah dicap
sebagai orang Batak.
Mungkin yang supir taxi itu maksud bahasa Medan itu
seperti, “anj*nggg kau”, “kupijak nanti kau baru tau rasa”, atau “gak usah
banyak cincong kau kim*k.” Namun, gue mengurungkan mengatakan itu karena gue
takut diberhentikan di pinggir jalan oleh supirnya. Kalau gue beneran
berkata begitu, mungkin supir taxi itu akan mengatakan hal ini dalam hatinya, “sejauh
ini masih saya pantau, entar juga saya sleding kepala nih bocah.”
No comments:
Post a Comment