Wednesday, August 31, 2016

Bahasa Mandarin

Gue terlahir dari sebuah keluarga yang amat mendalami budaya China. Dimulai dari Pakcik sampai Paman gue mereka mempunyai keahlian berbahasa mandarin dengan baik, bahkan sampai anak-anaknya sekarang. Anak-anak mereka yang termasuk saudara gue juga kebanyakan kuliah di China dibandingkan Indonesia. Gue sendiri terlahir di keluarga tersebut merasa mendapat daya saing yang amat tinggi. Apalagi bahasa Inggris gue yang masih amat amatiran, apalagi juga dengan bahasa mandarin yang gue tahu cuma Wo Yao Xiao Pien (Saya mau pipis).

Gue teringat satu kejadian yang membuat gue harus berusaha berkomunikasi dengan orang China asli. Sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu, saudara gue menikah dengan seorang perempuan asal China. Mereka mengadakan resepsi di China dan menjalankan pernikahannya di Indonesia. Keluarga dari pihak perempuan datang beserta dengan teman-temannya. Sekitar 7 orang China datang menginap di sini.

Gue baru tahu kalau rumah gue akan ada kedatangan tamu dari negeri nenek moyang gue sendiri. Agak kaget juga karena jarang-jarang orang asing datang ke rumah gue. Dulu gue pernah bermain dengan orang Malaysia yang datang ke rumah. Dia ngomong bahasa mandarin dengan sangat lancar dan tidak ada satu pun kalimat yang gue paham. Jadi yang gue dengar cuma “cingcongcang.” Yang lebih ajaibnya, gue menjadi akrab dengannya. Karena dia menginap di rumah Paman gue, hampir setiap hari gue kesana hanya untuk bermain dengannya. Dengan dia yang menggunakan bahasa mandarin dan gue menggunakan bahasa “iya” maka ini menjadi salah satu keajaiban dunia. Hubungan diplomasi macam apa ini?

Selama gue bermain dengannya, gue hanya mengiyakan semua perkataan dia. Gue ingat ketika itu dia mengajak gue bermain kartu pokemon. Minimal gue ngerti lah pokemon itu apa. Tetapi ketika gue melihat cara dia bermain, gue mulai bingung. Perpaduan antara bahasa mandarin yang dia keluarkan dengan kartu pokemon yang sulit dimengerti, membuat gue amnesia 10 menit. Waktu itu gue masih SD kelas 3. Kalau aja waktu itu gue bisa bahasa mandarin, mungkin saat ini gue bisa menjadi murid yang jago bahasa mandarin di sekolah. Setiap kompetisi yang berhubungan dengan mandarin pasti gue ikuti. Lomba pidato bahasa mandarin, lomba baca puisi mandarin, lomba nyanyi lagu mandarin, lomba cerdas cermat mandarin, lomba menulis mandarin, atau lomba kreasi bersama bunda dalam bahasa mandarin. Yang terakhir cuma bercanda.

Kembali ke 7 orang China yang datang menginap di rumah gue. Gue sempat agak bingung sih. Dalam situasi tersebut gue sempat mikir, apa yang harus gue lakukan ketika gue bertemu dengan mereka secara tak terduga? Gak mungkin juga ketika gue bertemu mereka secara tak sengaja, gue malah melontarkan kalimat mandarin yang gue bisa, “Wo yao xiao pien.”

Gue ingat, orang Indonesia merupakan orang yang murah senyum. Baiklah, gue menggunakan budaya senyum ala Indonesia. Waktu itu gue bertemu dengan satu orang China laki-laki dan ketika itu dia hendak ke kamar. Gue berjalan menuju arahnya dan kita bertemu. Terus kami bertatap wajah, jantung gue berdetak kencang, dan secara tidak sengaja gue jatuh cinta padanya. Yang terakhir itu cuma bohongan.

Saat gue bertemu dengannya, gue akhirnya menggunakan trik budaya senyum Indonesia. Gue pun tersenyum di depannya dan berhasil. Dia malah kembali membalas senyum ke gue. Itu berarti cara tadi adalah cara sempurna untuk berkomunikasi dengan orang asing. Tapi gak setiap hari gue senyumin juga. Gak mungkin juga ketika dia lagi kebelet boker gue senyumin atau dia terkena serangan jantung gue senyumin. Yang gila siapa sekarang?

Tidak hanya orang tua saja, juga terdapat anak-anak muda. Ada 3 cowok muda dan 1 cewek. Mereka adalah teman saudara gue yang akan menikah ini ketika kuliah di China dulu. Saudara gue yang lain mulai berlomba menggunakan bahasa mandarin dengan baik. Mereka berkomunikasi dengan orang-orang China tersebut dengan akrab. Paman gue dan yang lainnya serta para tamu yang hadir pun ikut berlomba berbahasa mandarin. Anjing gue juga gak mau kalah. Anjing gue juga mulai menggonggong dengan bahasa mandarin. Gue sempat ingin membuat dan membagikan brosur lomba berbahasa mandarin tingkat keluarga di rumah, tetapi kayaknya gak ada yang tertarik.

Gue, Bokap, Nyokap, Abang, dan Adik gue hanya bisa terdiam dan gak bisa apa-apa. Karena dari Bokap gue, hanya kami berlima yang tidak fasih berbahasa mandarin. Waktu itu gue sedang ingin meminjam Nintendo kepada istri saudara gue yang orang China juga. Tapi gue tidak tahu harus ngomong apa. Gak mungkin juga pas gue mau minjem gue bilang “Wo yao xiao pien.” Agak aneh juga gue mau main Nintendo sambil pipis. Saudara gue memberi bantuan. Dia menulis kalimat mandarin dan menyuruh gue untuk memberikan pada istrinya agar gue bisa meminjam Nintendo tersebut. Gue gak berani karena agak aneh juga kalau gue mau pinjam sesuatu tetapi lewat kertas. Gue juga gak bisu, tetapi gak mungkin juga gue minjem dengan menggunakan kertas sebagai alat bantu bahasa gue. Akhirnya, saudara gue pun pergi meminjamkan Nintendo itu ke gue.

Yah, gue merasa ini merupakan daya saing yang amat tinggi, sih. Di sekolah gue juga ada belajar bahasa mandarin, tetapi gue selalu pusing ketika harus membaca huruf-huruf mandarinnya, apalagi gue baru tahu kalau setiap kata dalam bahasa mandarin ada 4 nada yang berbeda dan 4 nada itu beda-beda arti. Ada yang naik, turun, datar, dan naik turun. Agak ribet juga ngomong satu kata tapi nadanya berbeda. Kemarin gue ujian membaca dan syukurlah boleh baca langsung dari bukunya. Namun satu masalah terjadi, gue agak susah membaca kalimat-kalimat mandarin karena tanda nadanya. Mulut gue hampir keseleo ketika membaca kata-kata tersebut.

Suatu hari gue di masakin pangsit oleh mertua saudara gue yang merupakan orang China. Pangsit itu berisi udang dan kalau mau makannya enak harus di campur dengan cuka. Gue menggunakan sumpit dan mengambil satu per-satu pangsit tersebut. Salah satu hal yang bisa gue pamer kepada orang China adalah gue bisa memakai sumpit, meskipun banyak yang bisa juga. Gue makan pangsit tersebut, lalu tiba-tiba mertua saudara gue melihat ke arah gue.

“Hau che ma?” tanya dia, yang artinya “enak gak?”

“Hau che, hau che” kata gue, setengah mengerti. Fiuh, untuk gue mengerti dikit apa yang dia omongin.

Gue sempat mau bilang “Wo yao xiao pien” tapi aneh juga gue mau makan pangsit sambil pipis.




Tuesday, August 16, 2016

MOS



Dulu, kenaikan kelas menuju tingkat SMP merupakan hal yang membanggakan untuk gue karena akhirnya gue bisa masuk ke level yang lumayan tinggi. “SMP? Wah gila, gak nyangka banget gue akhirnya masuk SMP” pikir gue waktu itu.

Datang ke sekolah mengenakan pakaian putih biru beserta dasi dan lambang OSIS SMP yang nempel di dada gue, sampai-sampai gue pegang karena takut adanya pelecehan. Waktu itu gue masih tidak tahu sistem masuk SMP itu seperti apa. Paginya gue datang ke sekolah dengan memakai seragam baru dan bertemu teman-teman gue yang lain. Ada yang masih bertahan di sekolah yang sama dan ada juga sudah pindah sekolah. Gue melihat mereka mengenakan pakaian seragam yang baru dan kami saling memuji seragam kami.

“Oi, lo tahu gak? Seragam ini gue beli dari Jerman, loh” kata teman gue, pamer.

“Oi, lo tahu gak? Celana ini gue beli dari Swedia, loh” kata teman gue yang lain, pamer.

Gue berusaha untuk memamerkan sesuatu yang gue kenakan hari ini. Akhirnya gue berusaha membohongi teman gue kalau sepatu yang gue kenakan hari ini gue beli di Belanda. Dilihat dari mereknya, sepatu ini pasti jarang di temui di Indonesia. Sebelum gue mau pamer, tiba-tiba teman gue datang membicarakan sepatu gue.

“Har, itu merek Tomking, ya?” tanya teman gue.

“Iya, gue kembali beli di Be……”

“Sama kayak abang gue punya, dong. Kemarin beli di supermarket dekat rumah.” Gue berhenti melanjutkan. Niat gue buat pamer terhentikan dengan kalimat “Kemarin beli di supermarket dekat rumah.” Miskin pengetahuan banget gue.

Setelah ngumpul-ngumpul dengan teman gue yang lain, kami disuruh baris menuju lapangan. Upacara untuk menyambut murid-murid baru yang datang ke sekolah baru. Gue bertemu banyak teman-teman baru. Yang dari sok kenal, tiba-tiba kenal. Ada juga murid baru yang mendatangi gue dengan berkata,

“Eh, lo Hariyo kan?”

“Iya, kok lo tahu?”

“Yah lah, lo itu terkenal banget, tahu.”

Gue mulai kaget ketika gue dibilang terkenal.

“Emang terkenal akan apa?”

“Lo kan yang terkenal ngompol pas kelas 3 SD itu.”

Gue terdiam. Aib SD gue bisa sampai ke sekolah lain, GOSIP DARI MANA, SIH?

Saat upacara, tak lupa sekolah juga memberi penghargaan terhadap murid-murid yang juara kelas dan lain-lain. Selesai upacara, kami kembali menuju kelas masing-masing dan melihat kelas baru. Tiba-tiba datanglah beberapa senior kelas yang datang sambil membawa alat peraga. Dan setelah lihat lebih mendalam, ternyata ini untuk MOS. Artinya, gue akan jadi gembel besok.

Aturan paling utama saat MOS adalah harus mencukur rambut sampai gundul. Karena gue waktu itu (maaf) pendek, jadi tampang gue sangatlah memprihatinkan.
 
Foto sambil bawa sepeda, keren!






  Dulu memang gue jarang tersenyum ketika hendak berfoto. Sampai gue sadar ketika gue tersenyum saat berfoto dan melihat hasilnya gue tidak terlihat tersenyum.
Hari pertama MOS, gue mesti datang pagi. Yang lebih parahnya adalah gue harus mengenakan semua atribut tersebut dan jalan menuju sekolah seperti gembel. Jadi ketika gue jalan dari luar menuju sekolah, gue di lirik oleh warga setempat. Ada warga yang menjerit ke arah gue dengan berkata, “Dek, abang punya alamat Mahoni, mau gak?”.
Gue sempat membenci apa yang gue kenakan waktu itu. Kalung dari botol plastik, tas dari karung beras, dan mengenakan kertas karton yang bertuliskan kalimat-kalimat aneh serta memakai topi dari kardus pula. MOS berlangsung selama 3 hari, jadi gue akan menjadi gembel selama 3 hari ini.
Hari pertama MOS, hari perkenalan terhadap senior-senior. Ini adalah kejadian yang sering terjadi ketika MOS, yaitu Ketua OSIS nya cantik. Waktu itu tinggi gue cuma 154 cm, sedang tinggi Ketua OSIS tersebut berkisar 168 cm. Oke, gue mulai minder.

Tidak hanya itu, ketika MOS berlangsung, banyak banget hal-hal yang gue gak suka dari aturan-aturan yang dibuat. Seperti tas atau ransel yang dibuat dari karung beras harus sama seperti yang telah dibuat oleh para senior kelas. Cuma tas gue yang berbeda bentuk dengan yang lain waktu itu. Gue merasa, seseorang harus kreatif dan menjadi beda ketika membuat sesuatu. Itulah kenapa cuma tas gue yang paling beda. Namun ketika inspeksi, tas gue diambil dan disuruh buat yang baru. Gue kesal banget karena hal yang seharusnya benar bisa-bisanya dilarang.

Pernah waktu itu, ada salah satu kegiatan dimana semua murid yang mengikuti MOS melakukan games yang cukup menantang. Ketika itu, senior-senior berteriak, “Siapa yang mau maju paling depan?”. Gue menunjuk tangan gue dan berusaha membuat senior tersebut memilih gue. Tapi ketika senior tersebut melihat gue begitu bersemangat, gue malah diejek. “Maaf ya, dek, kamu cebol, gak sanggup.” Kata senior tersebut.

Ketika itulah gue mulai merasa diri gue begitu bodoh dalam melakukan sesuatu. Sesuatu yang ingin gue coba tapi selalu dihalangi karena kekurangan gue. 3 hari MOS pun berakhir. 3 hari itu juga membuat gue tidak begitu senang dalam kegiatan tersebut. Itulah kenapa gue menjadi seorang yang pendiam dan merasa keramaian adalah hal yang tidak menyenangkan. Kadang suhu tubuh gue bisa naik sendiri ketika gue pulang dari keramaian.

Hal itu juga bisa dibilang, itulah awal gue mulai dibenci oleh teman-teman gue. Oke ini kenapa jadi cerita sedih, tapi yasudahlah.

Tuesday, August 9, 2016

Patah


Di perpustakaan, gue tengah menyelesaikan cerpen yang gue tulis dan diterbitkan oleh majalah. Agak gak penting, tapi gue cuma iseng-iseng. Ketika sedang menulis, gue teringat beberapa kejadian yang menimpa gue bersama abang gue. Waktu itu, Nyokap baru memiliki 2 orang anak, adik gue belum lahir.

Gue bersama abang gue sering sekali bermain yang menurut orang dewasa itu berbahaya. Kami pernah bermain mesin las, menjalankan mobil, bahkan pernah berusaha masak sendiri padahal kami gak pernah masak.

Sejak itu, gue bersama abangku menuju belakang rumah. Di rumah kami terbanyak banyak truk yang parkir dibelakang. Biasanya, kami sering bermain dan memanjat truk tersebut sendirian tanpa ada pengamanan dari orang tua. Waktu itu, gue masih cebol. Ada sebuah mobil pengangkut kayu yang bagian belakang dari box nya bisa dibuka. Gue dan abang gue segera kesana untuk mencoba membuka.

“Har, lihat gue buka pintunya” kata abang gue, pamer.

Gue cuma bisa melihat abang gue mendemonstrasikan apa yang ingin dia lakukan. Memang waktu itu, kami menganggap itu keren dan gaul. Gue agak terpana ketika abang gue berhasil membukanya dan sempat tepuk tangan. Namun kejadian tragis pun terjadi.

Ketika abang gue sedang membuka box nya, tiba-tiba abang gue terjatuh menuju selokan karena dibelakang kami adalah sebuah selokan, yang untungnya gak ada air. Tapi sialnya, abang gue terjatuh dan menjerit kesakitan. Gue panik dab berlari ke rumah memberitahu Bokap gue.

“Pa pa pa” kata gue, panik.

“Ada apa teriak-teriak?”

“Itu abang”

“Abangmu kenapa?” tanya Bokap, bingung.

“Dia terjatuh ke paret, terus nangis.”

Bokap buru-buru menuju ke belakang rumah. Abang gue masih menangis. Tubuhnya digendong Bokap. Gue yang masih cebol menarik-narik celana Bokap dan berkata, “Pa, aku juga mau digendong.”

Karena takut terjadi sesuatu, abang gue dilarikan ke rumah sakit. Saat dicek dan di rontgen, ternyata tangan kanannya patah. Esoknya, abang gue dilarikan ke rumah sakit di Deli Tua, jauh sih. Selama berhari-hari, abang gue dirawat inap di sana. Bokap dan Nyokap bergantian menemani abang gue di rumah sakit. Sementara gue, cuma di rumah nunggu makanan datang. Adik macam apa gue.

Beberapa dirawat, akhirnya tangan abang gue kembali sembuh. Gue dimarahi oleh Bokap karena tidak menjaga abang gue dengan baik saat itu. Memang, pintu box mobil tersebut sangat berat dan tidak dianjurkan untuk dibuka oleh seorang anak kecil seperti kami. Padahal dari kejadian itu, abang gue yang mengajak melakukan, gue yang dimarahi. Derita anak ke-2.

Kejadian berikutnya terjadi pada gue. Waktu itu, adik gue yang paling kecil sudah lahir dan masih balita. Tren pun semakin lama semakin populer, termasuk acara smackdown. Ya, acara yang dulu tayang di tv ketika gue masih SD. Saat itu, gue  sedikit gengsi dengan ikutan tren karena saat itu menonton smackdown adalah sesuatu yang keren, apalagi memperagakannya.

Malam hari gue menonton bersama Bokap dan abang gue. Esoknya, banyak teman-teman gue memperagakan berbagai teknik smackdown sesuai dengan tokoh-tokoh pegulatnya. Gue sendiri tidak mempraktikannya di sekolah, tetapi di rumah.

Kamar tidur gue waktu itu masih bertingkat. Gue tidur diatas dan abang gue dibawah. Di lantai terdapat matras. Gue sering melompat dari atas tempat tidur gue menuju matras tersebut. Karena keseringan, gue jadi kebiasaan. Hingga kecerobohan pun terjadi.

Gue memanjat-manjat kembali tempat tidur  gue. Gue tidak memeriksa apakah dilantai sudah terdapa matras atau tidak. Gue akhirnya memanjat dan melompat. Tanpa sadar, saat gue melompat, dilantai tidak ada matras. Gue berteriak dan akhirnya terjatuh. Kepala gue terjedot mengenai lantai. Gue menangis keras. Bokap dan Nyokap datang menghampiri. Benjolan besar pun membekas di dahi gue.

Karena kejadian itu, gue terkena salah satu pelemahan di otak kiri gue. Ceritanya bisa dibaca di blog gue sebelumnya, http://hariyowibowo.blogspot.co.id/2016/02/di-balik-kekurangan-pasti-ada-kelebihan.html

Sekian, cerita yang gue tulis dalam kebosanan di perpustakaan ini.

Sunday, August 7, 2016

Detektif

Baru-baru ini, gue mulai sering membaca komik Detective Conan. Ceritanya keren, penuh misteri, dan hal-hal yang ingin di pecahkan bikin penasaran (pecahkan telur). Setelah membaca komik Detective Conan, gue merasa kalau gue memang bisa menjadi seorang Detektif yang hebat.

Gue sering mencari di internet cara menjadi Detektif yang handal. Seperti penyamaran, cara memecahkan telur, eh maksudnya cara memecahkan kasus, serta peralatan yang harus di miliki. Sejak SMP, sikap gue berubah menjadi dingin saat menjadi Detektif. Gue menyebutnya Detektif Dingin.

Gue mulai melakukan kebiasaan menyembunyikan sesuatu. Bahkan, disaat ada yang sedang bergosip, gue selalu menguping. Sikap gue yang dingin tersebut, membuat teman gue menganggap gue sedang sakit jiwa.

Tiba ada kasus uang kas milik kelas yang hilang, gue pun beraksi. Gue langsung ikut campur dalam kasus tersebut.

“Siapa yang melakukan hal ini?”

“Entahlah, belum tahu”

“Apakah ada yang terlibat dalam pemegangan uang tersebut?”

“Ada!”

“Panggil mereka”

Gue langsung menggunakan teknik andalan gue dalam memecahkan kasus.

“Tenang saja, saya sudah pernah memecahkan kasus tersebut, perlu banyak waktu untuk memecahkan” kata gue, sok.

Setelah itu, orang-orang yang terlibat dalam pemegangan uang pun datang.

“Apa kalian tahu siapa pelakunya?”

“Tidak!”

“Jawab dengan jujur?”

“Kami tidak tahu!”

“Ah masa?”

“Iya!”

“Ah masa?”

“Iya!”

“Ah masa?”

“IYE!”

Setelah itu, kasus tersebut belum terpecahkan sama sekali. Mereka pun mulai menganggap kemampuan dalam memecahkan kasus gue mulai diremehkan. Gue pun langsung menghampiri mereka.

“Jangan khawatir, saya sudah pernah memecahkan kasus ini, tapi kasus ini berlangsung sangat lama, mungkin 2 atau 3 minggu” kata gue, berusaha menutup kesalahan sebagai Detektif.

Semua teman gue pun, mulai menganggap gue ngawur dalam melakukan hal seperti ini. Tidak mungkin, bocah SMP seperti gue bisa memecahkan kasus, dan gue pun gak sependek di Detective Conan, apalagi kepalanya. Gue pun mulai menghindari permasalahan tersebut. Tapi, niat gue dalam memecahkan kasus masih belum hilang.

Sewaktu ketika, ada orang yang kehilangan handphone. Lalu, gue pun langsung ikut dalam memecahkan kasus tersebut. Tiba-tiba, gue berteriak sendiri dengan keras dan menunjuk seseorang.
“DIA PELAKUNYAAA!” teriak gue sampai satu kompleks kedengaran.

Beberapa orang mulai melihat gue seperti orang gila dan menganggap gue anak kecil yang sedang main detektif-detektif.

“Pak Satpam, tolong bawa anak ini keluar” kata seorang ibu yang berusaha mengusir gue. Gue langsung kabur dan berlari dengan cepat keluar. Kemampuan gue dalam memecahkan kasus pun perlahan-lahan memudar (memang gak pernah sekalipun berhasil dalam memecahkan kasus).

Bahkan teman gue sendiri pun mulai menganggap gue gila dan menyuruh gue untuk istirahat.

Setelah itu, gue melepaskan semua kehidupan Detektif gue. Gue pun menjadi diri gue sendiri. Menjadi Detektif itu, tidak semudah yang dibayangkan. Kita perlu memiliki kemampuan analisis yang tinggi, serta membuat strategi yang hebat. Gue saja, main catur satu langkah maju raja gue sudah kena skak duluan. Menjadi Detektif itu tidaklah mudah. Setelah sikap gue berubah, gue pun menjadi seperti orang biasa. Teman-teman gue bersikap seperti biasa dan menghampiri gue,

“Gimana? sudah minum obat?”

“Sudah sembuh?”

“Kenapa kamu akhir-akhir?”

“Lo stres, Har?”

Ya, seandainya gue gak melakukan hal seperti itu, pasti pertanyaan tersebut gak bakal muncul di depan muka gue.