Sunday, August 7, 2016

Detektif

Baru-baru ini, gue mulai sering membaca komik Detective Conan. Ceritanya keren, penuh misteri, dan hal-hal yang ingin di pecahkan bikin penasaran (pecahkan telur). Setelah membaca komik Detective Conan, gue merasa kalau gue memang bisa menjadi seorang Detektif yang hebat.

Gue sering mencari di internet cara menjadi Detektif yang handal. Seperti penyamaran, cara memecahkan telur, eh maksudnya cara memecahkan kasus, serta peralatan yang harus di miliki. Sejak SMP, sikap gue berubah menjadi dingin saat menjadi Detektif. Gue menyebutnya Detektif Dingin.

Gue mulai melakukan kebiasaan menyembunyikan sesuatu. Bahkan, disaat ada yang sedang bergosip, gue selalu menguping. Sikap gue yang dingin tersebut, membuat teman gue menganggap gue sedang sakit jiwa.

Tiba ada kasus uang kas milik kelas yang hilang, gue pun beraksi. Gue langsung ikut campur dalam kasus tersebut.

“Siapa yang melakukan hal ini?”

“Entahlah, belum tahu”

“Apakah ada yang terlibat dalam pemegangan uang tersebut?”

“Ada!”

“Panggil mereka”

Gue langsung menggunakan teknik andalan gue dalam memecahkan kasus.

“Tenang saja, saya sudah pernah memecahkan kasus tersebut, perlu banyak waktu untuk memecahkan” kata gue, sok.

Setelah itu, orang-orang yang terlibat dalam pemegangan uang pun datang.

“Apa kalian tahu siapa pelakunya?”

“Tidak!”

“Jawab dengan jujur?”

“Kami tidak tahu!”

“Ah masa?”

“Iya!”

“Ah masa?”

“Iya!”

“Ah masa?”

“IYE!”

Setelah itu, kasus tersebut belum terpecahkan sama sekali. Mereka pun mulai menganggap kemampuan dalam memecahkan kasus gue mulai diremehkan. Gue pun langsung menghampiri mereka.

“Jangan khawatir, saya sudah pernah memecahkan kasus ini, tapi kasus ini berlangsung sangat lama, mungkin 2 atau 3 minggu” kata gue, berusaha menutup kesalahan sebagai Detektif.

Semua teman gue pun, mulai menganggap gue ngawur dalam melakukan hal seperti ini. Tidak mungkin, bocah SMP seperti gue bisa memecahkan kasus, dan gue pun gak sependek di Detective Conan, apalagi kepalanya. Gue pun mulai menghindari permasalahan tersebut. Tapi, niat gue dalam memecahkan kasus masih belum hilang.

Sewaktu ketika, ada orang yang kehilangan handphone. Lalu, gue pun langsung ikut dalam memecahkan kasus tersebut. Tiba-tiba, gue berteriak sendiri dengan keras dan menunjuk seseorang.
“DIA PELAKUNYAAA!” teriak gue sampai satu kompleks kedengaran.

Beberapa orang mulai melihat gue seperti orang gila dan menganggap gue anak kecil yang sedang main detektif-detektif.

“Pak Satpam, tolong bawa anak ini keluar” kata seorang ibu yang berusaha mengusir gue. Gue langsung kabur dan berlari dengan cepat keluar. Kemampuan gue dalam memecahkan kasus pun perlahan-lahan memudar (memang gak pernah sekalipun berhasil dalam memecahkan kasus).

Bahkan teman gue sendiri pun mulai menganggap gue gila dan menyuruh gue untuk istirahat.

Setelah itu, gue melepaskan semua kehidupan Detektif gue. Gue pun menjadi diri gue sendiri. Menjadi Detektif itu, tidak semudah yang dibayangkan. Kita perlu memiliki kemampuan analisis yang tinggi, serta membuat strategi yang hebat. Gue saja, main catur satu langkah maju raja gue sudah kena skak duluan. Menjadi Detektif itu tidaklah mudah. Setelah sikap gue berubah, gue pun menjadi seperti orang biasa. Teman-teman gue bersikap seperti biasa dan menghampiri gue,

“Gimana? sudah minum obat?”

“Sudah sembuh?”

“Kenapa kamu akhir-akhir?”

“Lo stres, Har?”

Ya, seandainya gue gak melakukan hal seperti itu, pasti pertanyaan tersebut gak bakal muncul di depan muka gue. 

No comments:

Post a Comment