Friday, July 29, 2016

Kerja Sampingan


Sejak kecil, gue sudah mulai dididik untuk menjadi seorang pencari nafkah yang hebat. Gue lahir yang keluar pengusaha. Dimulai dari kakek, anak, sampai cucu rata-rata pengusaha semua.

Bokap gue juga mulai menasehati gue ketika gue SD, “Hariyo, kalau kamu sudah besar nanti, cari pekerjaan yang pas dan pastinya memiliki penghasilan yang cukup, mengerti!!?

“Mengerti, pa”

“Mengerti!!!?”

“Iya, pa mengerti”

“Mengerti, gak?”

“IYE.”

Dulu gue memang bercita-cita menjadi seorang pengusaha. Dan ketika gue memilih cita-cita tersebut, gue mulai belajar marketing meskipun gue belajarnya cuma 1 menit doang, 1 hari belajar selama 1 menit selebihnya tidur. Sampai-sampai ketika gue mengidolakan Bill Gates, gue bilang "Aku mau jadi seperti itu" dan sepertinya itu cuma khayalan gue. 

Gue berpikir kalau dengan teori saja belum cukup membuktikan. Akhirnya gue memutuskan untuk memulai bisnis gue. Bisnis pertama yang gue buat adalah e-commerce. Ketika itu gue terinspirasi dengan toko-toko online yang cukup terkenal dan memiliki nilai penghasilan yang besar. Hal ini memotivasi gue untuk memulai bidang ini.

Yang pertama kali yang gue lakukan adalah membeli buku tentang e-commerce. Waktu itu, uang jajan gue masih berkisar 5000 dan gue terpaksa menabung uang untuk membeli buku tersebut. Sampai sekarang buku ini masih tersimpan rapi di rak lemari gue. Dan gue seharusnya tidak membelinya karena seharusnya gue tahu, gue gak akan mengerti dengan isi buku ini karena gue juga gak tahu tulisan-tulisannya. Wajar juga sih karena waktu itu gue juga belum begitu suka dengan membaca.

Uang gue terbuang sia-sia dengan membeli buku ini. Sehingga Nyokap gue merasa aneh terhadap gue, kenapa uang jajan gue cepat sekali habisnya? Gue mesti menyimpan buku tersebut secara diam-diam. Gak mungkin juga gue bakar atau gue buang, atau malah gue kasih ke sopir gue. Mungkin dia akan melakukan seperti apa yang gue lakukan.

E-commerce gagal menjadi bisnis pertama gue. Akhirnya gue mencari ide baru untuk memulai bisnis. Gue mencari ide sambil nanya ke Nyokap.

“Ma, di rumah ini ada barang yang bisa dijual, gak?”

“Oh, ada. Tuh, mainan yang dulu kamu rusakin kamu jual aja” kata Nyokap, tertawa.

Setahun kemudian, gue mendapat kabar kalau Bibi gue memperkenalkan bisnis baru, yaitu jualan pulpen yang bisa dihapus. Gue pikir, bagus juga pulpen bisa dihapus. Karena dulu gue orangnya suka inovasi, akhirnya gue memutuskan menjual pulpen gue. Nyokap membagi pulpen tersebut kepada gue, abang, dan adik gue. Kami bertiga berkompetisi menjual pulpen terbanyak.

Gue datang ke sekolah pagi-pagi dan mulai promosi. Strategi promosi yang gue lakukan waktu itu adalah menawarkan pulpen ke beberapa kelompok. Misalkan, ketika ada sekelompok cewek atau cowok sedang berkumpul, gue akan meramaikan suasana dengan menjual pulpen tersebut. Namun, sampai jam pulang sekolah ternyata gak ada yang beli. Gue pulang dengan perasaan kecewa. Nyokap gue menyemangati gue untuk cari cara lain.

Besoknya gue kembali menjual pulpen gue dan akhirnya ada yang beli. Stok pulpen yang gue jual semakin dikit hingga akhirnya sold out. Uang yang gue dapatkan gue berikan ke Nyokap, yah mungkin itu sudah sewajarnya.

Beberapa tahun kemudian, gue berhenti berjualan pulpen. Setelah tamat SMP, gue pindah sekolah. Saat SMA, gue berkenalan dengan teman yang juga memulai bisnis  dalam menjual barang-barang software dan hardware. Gue menawarkan diri untuk ikut bergabung dan akhirnya gue bergabung. Setiap harinya gue mempromosikan barang-barang yang akan dijual di media sosial, meskipun harganya tidak sesuai isi dompet. Kontribusi gue dalam bisnis itu adalah gue berhasil menjual flashdisk dan software Adobe. Gue pernah mempromosikan Oculus Rift, tapi sepertinya barang seperti itu terlalu mahal untuk dijual.

Kelas 2 SMA, teman gue akhirnya tidak berjualan lagi dan otomatis gue juga tidak berjualan lagi. Bibi gue kembali menawarkan bisnis baru yang dia dapatkan, yaitu jualan pulsa. Meskipun penghasilannya sedikit, tapi tetap gue coba.

Gue mulai berjualan pulsa dan menawarkan diri untuk mengisi pulsa teman-teman gue, yang pastinya bayar. Beberapa teman gue meminta gue mengisi pulsanya dan terkadang rata-rata gagal masuk sehingga gue juga terkadang mengalami kerugian. Kebanyakan yang meminta gue untuk isi pulsa yaitu Paman dan Bokap gue. Ketika mereka mengetahui gue jualan pulsa, gue selalu dikejar-kejar. Bahkan ketika gue lagi di sekolah, gue harus terburu-buru mengisi pulsa mereka.

Hingga akhirnya gue kelas 3 SMA, gue mulai berhenti jualan pulsa karena handphone gue rusak. Dan ketika itu gue menyadari satu hal, gue gak cocok menjadi seorang pengusaha. Bahkan gue beranggapan pengusaha merupakan karir yang cukup merepotkan karena gue sudah sering mengamatinya. Setiap hari, di rumah gue selalu terdapat suara teriakan dari orang-orang yang sedang bekerja. Setiap hari harus pergi ke Bank, setiap hari harus mengambil bon tanda terima, setiap hari harus ketemu klien, dll.


Mungkin juga, gue bisa menjadi seorang keturunan pertama yang tidak menjadi pengusaha. Sekali-sekali menjadi yang beda itu lebih baik. 

Wednesday, July 27, 2016

Dulu Sekolah Ini Adalah Kuburan

Sejak SD, gosip yang aneh-aneh sudah mulai disebar ke sekolah. Ada yang mempunyai gosip kalau ujian mereka banyak yang merah, ada yang mempunyai gosip kalau kepala sekolah ketahuan selingkuh, ada yang mempunyai gosip kalau istri kepala sekolah juga ikutan selingkuh, dan gosip aneh lainnya.

Di sekolah, gosip yang paling sering kita dengar adalah: dulu sekolah ini adalah kuburan. Bukan hanya kuburan, ada juga gosip tentang sekolah ini bekas penjara zaman Belanda, ada juga gosip tentang dulu sekolah ini ada orang yang gantung diri. Gosip aneh pun perlahan-lahan menyebar.

Saat SD, gosip yang gue dapat adalah sekolah ini bekas kuburan. Gue percaya dan tidak percaya akan gosip tersebut.

“Emang kuburannya letaknya dimana?” tanya gue, penasaran.

“Di kelas kita inilah” kata teman gue.

“Lah, ini kan lantai 2.” Teman gue diam, gue juga ikut diam.

Gue gak bisa bayangin gimana tukang gali kuburan menggali tanahnya di lantai 2 sekolah. Mungkin dulu lantai keramik kelas gue ini teksturnya seperti tanah.

Karena gue orangnya sangat penasaran terhadap sesuatu yang baru, gue memutuskan untuk melakukan investigasi. Sejak SD, gue selalu melakukan penelitian tentang hal-hal yang baru saja terjadi dan membuat gue penasaran. Ketika gue penasaran dengan lampu kulkas, maka gue akan melihat lampu kulkas tersebut mati dengan menutup perlahan-lahan pintu kulkas tersebut. Ketika gue penasaran terhadap wajah gue, gue pergi memandangi cermin dan ternyata, gue jelek juga. Bahkan yang lebih parahnya, gue baru mengetahui rupa gue ketika gue kelas 3 SD, kelas 3 SD gue pertama kalinya bercermin.

Investigasi yang gue lakukan adalah mencari bekas atau jejak dan mencari bukti bahwa sekolah ini benar-benar bekas kuburan. Lokasi investigasi pertama yang gue masuki adalah laboratorium sekolah. Ini memang tidak ada hubungannya dengan kuburan, tetapi bisa saja ada bekas mayat di dalam laboratorium tersebut. Siapa tahu dulu di laboratorium adalah lokasi dimana ada seorang dokter psikopat yang membedah tubuh mayat, kamu jenius Hariyo.

Gue pergi ke laboratorium secara diam-diam. Bersama dengan teman gue waktu itu, ada Hadi dan Ronny, kami bersama-sama masuk ke dalam laboratorium. Kebetulan pintu laboratorium tidak terkunci, jadi kami bebas menyusup. Investigasi dimulai. Di dalam lab terdapat barang-barang penelitian, seperti mayat kodok, ular, ikan, dan lain-lain. Ada juga kerangka manusia, ada patung sistem pencernaan dan pernapasan, dll. Hadi menyelidiki kerangka tubuh manusianya, Ronny menyelidiki patung sistem pencernaan dan pernapasan, dan gue menyelidiki mereka berdua sedang ngapain, kamu jenius Hariyo.

Beberapa menit kami menyelidiki, masing-masing melaporkan hasil penyelidikannya.

“Lapor, kerangka tubuh yang saya selidiki ternyata bukan tulang beneran, tetapi terbuat dari kayu” kata Hadi, sambil memasang wajah serius.

“Hmm, mungkin itu mayat sudah di awetkan”

“Tepat sekali, saya setuju” kata Hadi. Kami berdua sama-sama bego dalam menyampaikan informasi.

“Lapor, patung sistem pencernaan dan pernapasan ternyata bukan mayat yang diawetkan, tetapi terbuat dari plastik” kata Ronny, sambil memperagakan posisi hormat.

“Hmm, mungkin itu mayat terinfeksi dengan zat plastik yang diberikan oleh dokter psikopat itu”

“Tepat sekali, saya setuju” kata Ronny. Kami bertiga, sama-sama bego dalam menyampaikan informasi. Tetapi menurut kami waktu itu, kami sangat jenius.

Inti dari penyelidikan gue, Hadi, dan Ronny waktu itu adalah seorang dokter psikopat. Kami bahkan tidak tahu dari mana informasi tentang dokter psikopat itu datang.

Lokasi selanjutnya adalah tangga dekat kelas. Tangga yang menurut kami waktu itu adalah tangga yang paling mistis di sekolah. Kabarnya, ada setan berwajah merah dan berambut hitam panjang sering muncul disitu. Yang gue pikirkan ketika mendengar kabar itu adalah Ki Joko Bodo lagi nahan kentut.

Waktu itu sudah malam hari, kami diam-diam pergi ke tangga dan menyelidikinya.

“Heii, lihat, ada bekas jejak kaki” kata Hadi, berteriak.

“Wahh, ini benar-benar jejak kaki” kata Ronny, histeris.

“Itu jejak kaki kalian sendiri, bego” kata gue memarahi mereka. Tetapi terdengar aneh ketika ada jejak kaki di tangga, karena waktu itu sudah malam, cleaning service juga sudah pulang, dan gak ada yang ngepel di jam-jam segini.

“Guys, kayaknya kita harus ke lorong deh” kata gue, penasaran. Kami bertiga masuk kedalam lorong secara diam-diam, dan tiba-tiba, kami memang melihat ada bayangan seseorang sedang mengepel lantai.

“Har, mending kita pulang aja deh. Udah malam” kata Hadi, takut.

“Iya, gue juga. Entar di marahi Bokap, besok lanjut aja lagi” kata Ronny, khawatir.

Gue mengiyakan, “Baiklah, kasus ini kita lanjut besok.”

Kami bertiga turun dari tangga dan bergegas pulang. Waktu itu, tinggal kami bertiga yang belum pulang karena Bokap gue biasanya sangat telat menjemput gue. Saat kami turun, kami bertemu satpam sekolah.

“Kok, belum pulang” tanya Satpam.

“Ada buku ketinggalan, pak” kata Hadi, berbohong.

Kami bertiga pergi menuju gerbang sekolah. Hadi dan Ronny berjalan didepan gue. Gue berbalik ke belakang melihat ke atas siapa bayangan yang lagi ngepel itu. Saat gue lihat dengan jeli, ternyata itu satpam lain yang lagi ngepel. Karena gue penasaran, gue bertanya kepada satpam yang gue temui tadi.

“Pak, itu teman bapak, ya?”

“Iya, saya suruh dia ngepel karena gak ada kerjaan.”

“Jadi, bekas ngepel tadi itu….”

“Iya, itu teman saya.”

Gue terdiam bentar. Esoknya di sekolah, gue ketemu Hadi dan Ronny.

“Sorry, ya gue gak bisa ikutan investigasi”

“Kenapa?” tanya Hadi.

“Kata Bokap jangan pulang malam-malam, nanti ditangkap setan.”

“Serem” kata Ronny setengah takut.

Gue kembali duduk di kursi gue dan berbicara dalam hati: kamu memang bego, Hariyo. 

Monday, July 25, 2016

Babybrother

Sebagai anak, tentunya kita ditugaskan atau bahkan memang sudah sepantasnya kita menghormati dan membantu orang tua. Menurut gue, orang tua adalah orang yang memiliki pengorbanan yang tinggi karena mereka berusaha menjaga seorang anak titipan dari Tuhan.

Gue sebagai anak, tentunya selalu berusaha untuk membuat orang tua gue bangga karena gue tahu mereka dari dulu bersusah payah untuk menjaga kita. Kenapa gue bisa tahu? Karena gue mengalaminya.

Tahun 2011, gue pergi sendiri ke Surabaya dalam rangka liburan sekolah. Bertepatan dengan hari berakhirnya UN, gue pun pergi ke Surabaya untuk jalan-jalan. Gue pergi bersama saudara dan kakak ipar gue. Sesampai di Surabaya, gue menginap di rumah saudara gue yang lain.

Sekitar beberapa hari gue menginap di rumah saudara, gue kembali dipindahkan menuju rumah saudara gue yang lain yang telah mempunyai anak. Tentu saja, di usia semuda ini gue sudah menjadi seorang paman. Mungkin bayinya berpikir, “Paman gue awet muda.”

Gue tinggal di rumah saudara gue yang sudah berkeluarga. Alasan gue tinggal di sana adalah untuk menjadi teman bermain seorang bayi. Waktu itu, gue masih bocah banget. Gue suka bermain mainan dan bermain permainan masa kecil. Karena gue memiliki bakat menghibur seorang bayi, maka gue dipercaya menjadi seorang babysister. Karena gue cowok, jadi gue ubah menjadi babybrother.

Sepanjang hari, gue bangun dimulai dengan mengajak bayi bermain. Karena saudara gue membuka bisnis mainan, maka di rumahnya seperti Trans Studio Bandung. Bukannya jaga anak, gue malah asik bermain.

Selama berhari-hari gue menemani keponakan gue dalam melewati harinya. Ketika dia menangis, gue mengajak dia untuk bermain petak umpet. Ketika dia takut, gue mengajak dia bermain ciluk baa. Ketika dia kebelet boker, gue mengetuk pintu kamar mandi dan berteriak “Cepetan, udah sampai pucuk, nih.”

Kadang gue bisa tidak tidur berhari-hari hanya untuk menemani dia tidur. Kadang juga, gue jadi tidak bisa tidur karena organ vital gue selalu sengaja keinjak kakinya, gue merasa menderita sekali.

Kadang ketika dia sudah tidur, gue harus perlahan-lahan untuk tidur agar dia tidak bangun dan bermain-main kembali. Gue pernah menemani keponakan gue bermain sampai jam 4 subuh. Sampai pada akhirnya dia tidur, gue pengen tidur tiba-tiba gue jadi insomnia, kampret.

Seperti yang kalian lihat, ini bukanlah liburan. Tapi belajar memahami seorang bayi yang tidak memahami seorang paman. Selama gue liburan di Surabaya, yang sering gue lakukan adalah menemani dia bermain. Ketika sedang berada di mall, gue harus berlari-lari menjaga keponakan gue agar tidak terjatuh, terbentur, dll. Kalau sampai kejadian itu terjadi, yah mungkin kalian sudah tahu siapa yang akan di salahin.

Di malam terakhir gue di Surabaya, gue dan keponakan gue tidur bersama. Gue bermain dengan dia sepuasnya sebagai tanda perpisahan gue dengannya. Esoknya, gue bangun secara diam-diam agar dia tidak menyadari gue sudah pergi. Dan ketika menyadari gue sudah tidak berada di Surabaya, keponakan gue menangis. Sesampai di Medan, gue di telepon dan yang menelepon adalah keponakan gue. Dia berkata dengan bahasa bayi,

“Suksuk, mamambabaabababmibaba?” yang artinya “Kapan aku bisa menyiksamu kembali?”

Gue menjawab, “Saat kamu tumbuh besar nanti, kamu akan mengerti.”


Sunday, July 24, 2016

Musik

Musik adalah salah satu hal yang keren menurut gue. Tanpa musik, mungkin sekarang kalian gak bakal mengoleksi lagu-lagu kalian di History lagu hape. Gue suka sekali dengan musik. Bahkan gue sering bernyanyi diam-diam di tempat gak jelas, meskipun suara gue cempreng abis. Seperti kamar mandi, kamar tidur, mobil, di belakang rumah, dan di tempat manapun. Bahkan, malam-malam pun gue sering nyanyi dengan suara cempreng, sehingga tetangga menyangka ada babi di sembelih. Kebetulan waktu itu malam jumat, jadi hantunya pada nonton konser ilegal gue di halaman belakang.
Ketertarikan gue dengan musik semakin menjadi-jadi. 

Gue suka menyanyi, tapi suara gue yang cempreng menghambat potensi gue untuk menjadi penyanyi solo. Gue mencoba mencari bakat  musik gue yang terselubung dan masih belum di temukan sampai sekarang, bahkan arkeolog yang menemukan fosil kuntilanak pertama pun gagal menemukannya (emang ada fosil kuntilanak?). Karena gue gak bisa nyanyi dan suara gue jelek, akhirnya gue memilih untuk bermain musik.

Pencarian bakat pun di mulai. Yaitu, musik apa yang paling gue suka. SD dulu, gue pernah bermain alat musik pianika. Dan kebetulan gue mendapat nilai terbaik saat memainkan musik tersebut. Tapi, jika di pikir-pikir, saat gue bermain pianika, cara gue bermain pianika waktu itu kayak bocah baru akil balik. Piano, kegedean dan gak ada uang untuk beli piano. Keyboard, di rumah udah banyak untuk komputer. Gitar, wahh boleh di coba. Gue pun jatuh hati pada gitar. Malamnya, gue browsing di internet dan membuka online shop dan mencari yang jual gitar, hasilnya gak sesuai harapan.

Otak gue pun berputar dan mencari akal gimana agar gue bisa mendapatkan gitar untuk latihan, dan akhirnya gue dapat ide tersebut. Gue mencari teman gue yang kebetulan mempunyai gitar dan berita baiknya, dia jago main gitar. Gue bisa meminjam gitarnya dan meminta diajarin untuk bermain gitar tanpa di bayar, yah gue emang sepelit itu.

Waktu itu, gue masih agak bego banget. Gue gak mikir secara matang-matang apa yang gue pikirkan. Gue chatting dengan teman gue, Vincent. Kebetulan dia memiliki gitar, tapi gitar akustik. Gitar klasik aja gue gak pernah mainin, apalagi gitar akustik. Di kelas, gue bertanya pada teman gue yang satu lagi, Afandi. Dan kebetulan, gue meminjam gitarnya juga. Jadi, gue bawa pulang 2 gitar sekaligus. Di sekolah, gue dikira penjual gitar ilegal.

Siang harinya, gue pulang kerumah

Dengan membawa 2 gitar. Nyokap terkejut dan menghampiri gue. Nyokap curiga, dari mana gue bisa mendapatkan uang sebanyak itu untuk membeli gitar.

‘Har, kamu dapat uang dari mana tuh?’

‘Ma, ini kan gitar, bukan uang!’

‘Iya, maksud Mama, kamu dapat dari mana tuh gitar. Jangan asal jawab kamu!’

‘Iya, Ma sorry. Aku minjem’

‘MINJEM KATAMU!?’
Nyokap terkejut sekaligus mengeluarkan suara yang gak sama cemprengnya dengan gue. Gue pun menjelaskan bahwa gue pengen mengembangkan bakat gue untuk bermain gitar. Nyokap bukannya mendukung, malah menyindir gue.

'Mau main musik? hahaha, ngepel sana.' Hubungannya sama musik apa, ma?

Saat masih TK, gue merupakan anak akil balik yang suka banget dengan band rock. Band rock yang paling gue suka adalah Bon Jovi. Gue sangat menyukai band tersebut dan gue jatuh cinta. Bahkan gue sempat ingin menikah dengan mereka, namun sayang mereka cowok semua, jadi acaranya gue batalin.

Saking sukanya terhadap Bon Jovi, gue sudah lupa lagu-lagunya. Kembali dengan peminjaman gitar tadi. Gue pun tidak sabar untuk memainkan gitar tersebut. Gue mengganti baju, tanpa peduli apapun kalau gue masih pakai kaos kaki di kamar. Pertama, gue memilih untuk bermain gitar klasik. Sayangnya, jari tangan gue jadi bengkok.

Kedua, gue memilih akustik milik Vincent. Gue memegangnya dengan bangga, serasa jadi rocker banget gitu. Namun sayang, jari tangan gue jadi bengkok lagi.
Nyokap melihat gue dengan serius saat gue memainkan gitar tersebut. Di dalam kamar yang gelap dan cahaya dari satu jendela kamar agar gue bisa main gitar dengan mudah. Nyokap datang menghampiri gue dan waktu itu dia bilang satu kalimat yang sampai sekarang gue gak pernah lupa sama sekali.

‘Har, bukain lampunya dong!’.

Esoknya, gue mendapatkan balasan chat dari teman gue, Devin. Dia memberitahu gue aplikasi yang bisa membuat gue untuk pintar bermain gitar. Kayaknya seru, pikir gue dalam hati. Gue segera mendownload aplikasi tersebut di handphone gue.

Setelah gue download, gue pun dengan tidak sabar membuka aplikasi tersebut. Gue lihat aplikasi tersebut, tapi gue tidak tau cara agar membuat gue bisa pandai main gitar. Tidak ada tombol spesial yang bisa membuat gue main gitar. Sekali pencet, langsung pintar main gitar.

Di kelas, gue bertemu Devin kembali. Gue pun bertanya-tanya tentang aplikasi yang kemarin dia rekomendasi ke gue.

‘Dev, aplikasi kemarin itu pencet yang mana biar jago main gitar?’

‘Loh, siapa bilang itu aplikasi untuk pande main gitar?’

‘Hah, jadi?

‘ITU APLIKASI UNTUK NYETEL GITAR, BEGO!’

Gue kaget. Ternyata selama ini, sebuah aplikasi yang tujuan menghabisin kuota gue dan gue ngarep kalau aplikasi tersebut bisa membuat orang pande main gitar, APLIKASI UNTUK NYETEL GITAR. Bego banget sih lo, Har.

Dengan penuh emosi dan dendam terhadap aplikasi tersebut, akhirnya gue uninstall kembali. Setelah aplikasi kampret yang menghabiskan kuota gue di uninstall, gue pun kembali bermain gitar, namun masih tidak berhasil. Akhirnya, gue pun menyerah. Mungkin, Tuhan tidak membiarkan gue memiliki talenta dalam bidang musik, sampai-sampai akhirnya jari-jari gue bisa bengkok kayak gini. Gue pun akhirnya mengembalikan gitar mereka.

Kebetulan waktu itu hari minggu, gue pergi menuju rumah Vincent. Rencananya sih mau buat kerupuk, tau-tau  ceritanya gagal.

Gue pun meletakkan gitar gue yang akan di kembalikan. Saat mau meletakkan gitar, tiba-tiba terdengar suara, tenone tenone tenonononene, loh kok jadi suara gerobak eskrim Walls?. Suara tersebut berasal dari dalam tas yang berisi gitar tersebut. Apakah mungkin ada tuyul yang terperangkap? apakah ada uang lima puluh ribu yang ketinggalan? atau beneran ada gerobak eskrim Walls di dalam?. Setelah teman gue buka, ternyata SENAR GITARNYA PUTUSS.

‘Vin, gimana gitarnya?’

‘Kampret, kenapa bisa putus kayak gini?’

‘Gue gak tahu, tuh gitar dari rumah kayaknya masih oke’

‘Aduhh, gimana nih?’

Setelah itu, Vincent meletakkan gitarnya menuju kamarnya tersebut. Tanpa disadari, dia gak minta ganti rugi ke gue. Wawww, hebat, gitar yang harganya 500 ribu yang kualitasnya high class dan gue membuat senarnya patah, gak disuruh ganti rugi? Yah, kebetulan sih uang gue lagi bokek. Mungkin dia tau perasaan gue, mungkin dia jodoh gue, mungkin dia istri masa depan gue. Oke yang tadi itu bohongan, serius bohongan.

Setelah itu, suasana berubah. Vincent tidak berkomentar apapun tentang gitarnya yang rusak karena ulah tangan gue sendiri. Dia pun melanjutkan kegiatannya, yaitu bermain game. Gue seperti merasa bersalah sekali. Gue pengen berkata kepadanya kalau gue ingin ganti rugi. Namun sayang di kantong gue cuma ada duit 500 perak.


Wednesday, July 20, 2016

Pernikahan

Gue gak terlalu mikir banyak sih soal pernikahan. Paling tidak gue bisa mengerti arti pernikahan dan betapa merepotkannya mengadakan pernikahan.

Meskipun gue masih SMA, gue sudah bisa mengenali proses pernikahan itu seperti apa. Seperti misalnya, beberapa hari yang lalu saudara gue mengadakan pernikahannya.

Karena gue juga agak-agak malas di hari libur, gue jadi tidak bersemangat ketika gue mendapat kabar kalau gue harus bangun jam 5 pagi. Gue sempat bilang ke Nyokap kalau gue akan hadir di saat acara minum teh nanti, tapi gue dipaksa.

Di hari minggu pagi, gue bangun dengan tubuh yang cukup lemas karena malamnya gue tidur jam 11 malam, salah gue juga, sih.

Jam 5 gue bangun  dan gue pergi membasuh wajah dan dilanjutkan dengan mandi dan menggosok gigi. Setelah itu gue pergi ganti baju. Baju yang gue pakai adalah baju yang sudah di pakai di hari sebelum-sebelumnya, yang di hari sebelumnya udah basah-basah keteknya. Karena tidak ada baju lain, gue terpaksa memakai baju tersebut. Karena gue takut para tamu semua pingsan karena datangnya bau menyengat, gue langsung menyemprot Krispray ke baju gue. Gue terlalu abege  buat pakai parfum.

Selesai ganti baju, gue langsung pergi dan tanpa sadar gue belum sarapan. Gue sampai di rumah pengantin. Karena keluarga gue berasal dari keluarga pengantin wanita, gue mendapat pekerjaan utama yaitu, membuka mobil pengantin pria yang datang ke rumah pengantin wanita. Karena mobil tersebut adalah mobil Alphard, gue agak kampungan ketika mau membuka pintunya.

Gue agak kerepotan ketika mau membuka pintu dari mobil tersebut. Ketika gue sedang berusaha membuka, tiba-tiba pintunya terbuka sendiri.

“Dek, pintunya itu bisa dibuka otomatis” kata mc-nya. Kenapa gak bilang dari tadi sih, om?

Pengantin pria pun turun dengan membawakan bunga, “Aaa, makasih ya udah bawaan bunga buat aku” kata gue yang lain. Gue diberi angpau yang berisi uang yang lumayan besar. Lumayan.

Acara pun dimulai dengan makan bersama dengan semuanya. Gue melihat ada kue dan beberapa minuman yang akan dihidangkan nanti. Kebetulan gue lapar, gue pun ingin ikut makan bersama, namun itu semua terhalang ketika kursinya berkurang. Gue terpaksa menunggu dibelakang sambil menahan lapar.

Acara makan selesai dan diakhiri dengan foto bersama. Gue agak sedikit aneh saat berfoto. Semua pakai sepatu, gue malah pakai kaos kaki.

Pengantin pria dan wanita pun pergi. Gue dan Bokap langsung naik mobil pergi mengambil makanan di kota. Kebetulan paman gue memesan beberapa nasi kotak yang akan dihidangkan untuk tamu yang akan datang nanti.

Gue agak rese ketika gue bersama Bokap pergi mengambil makanan karena hal yang membuat ingin cepat pulang adalah gue lapar dan gue ngantuk.

Bersama Bokap, kami pun kembali pulang. Gue tertidur di mobil dan super ngantuk. Gue tidur dalam keadaan mangap. Setibanya pulang ke rumah, mobil sudah berkumpul Para tamu sudah hadir dan gue malah meminta kunci rumah dan pulang untuk tidur. Gue kembali bangun dan pergi menghadiri acara.

Gue sempat kerepotan karena saudara gue nikah, paman gue malah buka toko. Jadi gue harus membantu melancarkan proses pernikahan dan pergi berjualan di depan. 10 menit gue bantu jualan, 10 menit gue membantu melayani tamu. Begitu seterusnya sampai akhirnya acaranya selesai. Gue akhirnya makan di jam-jam gue udah mulai sekarat.

Gue kembali ke rumah, dan langsung tidur terlelap, ngantuk yang luar biasa.

Sorenya gue mesti bangun kembali dan menghadiri acara pernikahan di restoran. Gue bangun dan mandi serta memakai batik. Gue berasa keren waktu itu. Gue datang ke restoran dengan memakai batik, seolah-olah ada seorang pejabat yang datang. Gue lagi berdiri dengan gagah lalu tiba-tiba ada seorang tamu memanggil gue dan berkata “Mas, minta teh satu.”


Tamu berdatangan dan acara pun dimulai. Makanan berdatangan dan gue makan dengan ganas. Tepat jam 21.30 acara akhirnya selesai. Gue pulang kembali ke rumah dan langsung tidur kembali ke kasur. Setelah 10 menit gue tidur, gue membuka mata gue dan baru ingat akan sesuatu: besok sekolah. 

Friday, July 8, 2016

Pesta Ulang Tahun

Sejak TK, perayaan ulang tahun sudah pernah gue lewati. Gue masih ingat pertama kali gue datang ke sebuah acara ulang tahun teman gue namanya Ratna. Acara masih seperti acara anak TK baru akil balik kebanyakan. Ada begitu banyak kue dan telur warna merah, sepertinya perlu di kerok karena masuk angin.

Acara terebut juga ada pembawa acara atau MC. MC-nya adalah seorang ibu-ibu sok gaul. “Hai, guys, kita akan merayakan ulang tahun dari Rranatha..” wajah gue sempat terkena air dari mulutnya ketika dia menyebut nama Ratna yang begitu gaul.

Selain datang ke acaranya, gue juga ikut serta dalam games yang disediakan. Gamesnya seperti menghitung jumlah anggur dan lomba membuka kulit jeruk. Gue mengikuti games pertama, yaitu lomba menghitung anggur. Lomba dimulai dengan kekalahan gue dalam berhitung. Ini bisa memperlihatkan sisi bego dari seorang Hariyo Wibowo, menghitung anggur saja bayi 5 bulan juga bisa.

Lomba selanjutnya yaitu mengupas kulit jeruk dan dimenangkan oleh gue. Pertama kalinya gue menang dengan bangga dalam sebuah games bocah, yaitu mengupas kulit jeruk. Ini bisa memperlihatkan sisi cemen dari seorang Hariyo Wibowo, mengupas jeruk saja Mama Lauren juga bisa.

Hadiah yang gue dapat dari kemenangan gue adalah sebuah botol minum plastik dan bonus jeruk yang baru gue kupas. Jeruknya gue makan dan botol minumnya gue bawa pulang, botol minum yang sekarang menjadi tempat dimana peliharaan gue pipis, kreatif bukan? Bego bukan?

Acara ulang tahun kedua yang gue hadiri sekitar beberapa bulan yang lalu yang diadakan di Restoran Kalasan. Saudara gue yang sudah mempunyai anak genap berumur 5 tahun. Dia menyuruh gue untuk datang ke acara tersebut. Gue memakai kaos merah, jam tangan, dan kacamata. Dan jangan lupa celananya juga, untuk ingat pakai celana.

Gue datang ke acara ulang tahun tersebut dan diawali dengan makan-makan. Porsi yang gue ambil cukup besar. Ada ayam, kari, kerupuk, sayur, dan lain-lain. Gue membawa makanan gue ke meja yang gue duduk tadi. Pergaulan bisa dilihat dari seseorang yang duduk dengan siapa. Jadi ketika gue duduk di meja yang tadi gue duduki, ternyata isinya ibu-ibu dengan membawa anak, tragis sekali saudara-saudara.

Gue makan dengan canggung sekali. Anak-anak pada bermain balon dan berteriak berisik. Ada yang terjatuh, menangis, lari-lari, muay thai, dan lain-lain.

Setelah selesai makan gue memandangi sekitar. Entah apa yang harus gue lakukan saat ini. Gue hanya bisa berdiam diri dari posisi gue. Melihat cewek-cewek cantik yang sedang makan dan saat melihat, ada ibu-ibu membalas tatapan gue dengan mata di kedip-kedip sambil senyum-senyum. Sepertinya cewek itu mempunyai tameng untuk melindungi diri.

Tiba-tiba ada anak-anak bermain balon dan dia terjatuh. Gue membangunkannya dan memberinya balon agar dia tidak menangis. Dia tersenyum dengan gue dan akhirnya pergi.

Gue senang sih dia tersenyum dengan gue. Tapi pertanyaan adalah apa arti dari senyuman itu? Apakah ini yang dinamakan cinta? Kenapa gue terpengaruh dengan penyakit pedofil ini, sih?

Ketika gue menyelamatkan anak tersebut, tiba-tiba ada ibu-ibu di samping gue memanggil gue, “Baik banget, ya Pak.”

“Gak, kok biasa aja” kata gue, malu tak tahu malu.

“Istrinya sudah hamil berapa bulan?”

“WHAT?” kata gue, kaget.

Istri? Hamil? Gila, sejak kapan gue punya istri? Gue bingung harus menjawab gimana. Seorang ibu-ibu mengira gue telah mempunyai istri dan hamil. Tolong jangan berburuk sangka, saya tidak menghamili anak orang, anak orang yang menghamili saya (lho?).

“Saya belum punya istri, bu, saya masih sekolah” kata gue, keringatan.

“Oh, saya pikir sudah punya. Tampangnya seperti om-om sih. Kalau om-om wajahnya begini, aduh saya pengen banget tahu” kata ibu itu sambil tertawa.

Gue sempat mendengar kalimat itu, gue berpikir: Gue mirip om-om?

Beberapa pertanyaan yang gue dapatkan ketika gue berada di acara ulang tahun tersebut adalah:

1.      Kenapa saya dikira om-om?
2.      Kenapa saya disukai ibu-ibu?
3.      Kenapa saya dikira mempunyai istri yang sedang hamil
4.      Kenapa saya harus berada di acara aneh ini?

Hal ini membuat gue sedikit tidak tenang. Beberapa jam kemudian, gue bersama lainnya kembali pulang ke rumah. Sesampai di rumah, Nyokap menyapa gue dan bertanya-tanya.

“Gimana makanannya, enak?”

“Lumayan” kata gue.

“Banyak ketemu cewek-cewek cantik, ya?” tanya Nyokap, curiga.

“Iya, cantik-cantik, hahaha” kata gue, tertawa garing.

Gue kembali masuk ke kamar gue dan tidur. Seolah ingin melupakan pertanyaan tadi. Cewek-cewek cantik yang gue temui ternyata ibu-ibu. Dan kalau gue kasih tahu ke Nyokap, dia malah akan semakin berdebat dengan gue tentang hal ini. “Apa? Kamu disukai ibu-ibu? Seharusnya papa kamu disukai ibu-ibu itu. Dia ganteng dan tampan.”


Tragisnya seorang bocah SMA seperti gue dibandingkan dengan seorang om-om berkumis yang disukai ibu-ibu. Pantas aja gue jomblo.