Sejak kecil, gue sudah mulai dididik untuk menjadi
seorang pencari nafkah yang hebat. Gue lahir yang keluar pengusaha. Dimulai
dari kakek, anak, sampai cucu rata-rata pengusaha semua.
Bokap gue juga mulai menasehati gue ketika gue SD, “Hariyo,
kalau kamu sudah besar nanti, cari pekerjaan yang pas dan pastinya memiliki
penghasilan yang cukup, mengerti!!?
“Mengerti, pa”
“Mengerti!!!?”
“Iya, pa mengerti”
“Mengerti, gak?”
“IYE.”
Dulu gue memang bercita-cita menjadi seorang
pengusaha. Dan ketika gue memilih cita-cita tersebut, gue mulai belajar
marketing meskipun gue belajarnya cuma 1 menit doang, 1 hari belajar selama 1
menit selebihnya tidur. Sampai-sampai ketika gue mengidolakan Bill Gates, gue bilang "Aku mau jadi seperti itu" dan sepertinya itu cuma khayalan gue.
Gue berpikir kalau dengan teori saja belum cukup
membuktikan. Akhirnya gue memutuskan untuk memulai bisnis gue. Bisnis pertama
yang gue buat adalah e-commerce. Ketika itu gue terinspirasi dengan toko-toko
online yang cukup terkenal dan memiliki nilai penghasilan yang besar. Hal ini memotivasi
gue untuk memulai bidang ini.
Yang pertama kali yang gue lakukan adalah membeli
buku tentang e-commerce. Waktu itu, uang jajan gue masih berkisar 5000 dan gue
terpaksa menabung uang untuk membeli buku tersebut. Sampai sekarang buku ini
masih tersimpan rapi di rak lemari gue. Dan gue seharusnya tidak membelinya
karena seharusnya gue tahu, gue gak akan mengerti dengan isi buku ini karena
gue juga gak tahu tulisan-tulisannya. Wajar juga sih karena waktu itu gue juga
belum begitu suka dengan membaca.
Uang gue terbuang sia-sia dengan membeli buku ini.
Sehingga Nyokap gue merasa aneh terhadap gue, kenapa uang jajan gue cepat
sekali habisnya? Gue mesti menyimpan buku tersebut secara diam-diam. Gak mungkin
juga gue bakar atau gue buang, atau malah gue kasih ke sopir gue. Mungkin dia
akan melakukan seperti apa yang gue lakukan.
E-commerce gagal menjadi bisnis pertama gue.
Akhirnya gue mencari ide baru untuk memulai bisnis. Gue mencari ide sambil
nanya ke Nyokap.
“Ma, di rumah ini ada barang yang bisa dijual, gak?”
“Oh, ada. Tuh, mainan yang dulu kamu rusakin kamu
jual aja” kata Nyokap, tertawa.
Setahun kemudian, gue mendapat kabar kalau Bibi gue
memperkenalkan bisnis baru, yaitu jualan pulpen yang bisa dihapus. Gue pikir,
bagus juga pulpen bisa dihapus. Karena dulu gue orangnya suka inovasi, akhirnya
gue memutuskan menjual pulpen gue. Nyokap membagi pulpen tersebut kepada gue,
abang, dan adik gue. Kami bertiga berkompetisi menjual pulpen terbanyak.
Gue datang ke sekolah pagi-pagi dan mulai promosi.
Strategi promosi yang gue lakukan waktu itu adalah menawarkan pulpen ke
beberapa kelompok. Misalkan, ketika ada sekelompok cewek atau cowok sedang
berkumpul, gue akan meramaikan suasana dengan menjual pulpen tersebut. Namun,
sampai jam pulang sekolah ternyata gak ada yang beli. Gue pulang dengan
perasaan kecewa. Nyokap gue menyemangati gue untuk cari cara lain.
Besoknya gue kembali menjual pulpen gue dan akhirnya
ada yang beli. Stok pulpen yang gue jual semakin dikit hingga akhirnya sold
out. Uang yang gue dapatkan gue berikan ke Nyokap, yah mungkin itu sudah
sewajarnya.
Beberapa tahun kemudian, gue berhenti berjualan
pulpen. Setelah tamat SMP, gue pindah sekolah. Saat SMA, gue berkenalan dengan
teman yang juga memulai bisnis dalam
menjual barang-barang software dan hardware. Gue menawarkan diri untuk ikut
bergabung dan akhirnya gue bergabung. Setiap harinya gue mempromosikan
barang-barang yang akan dijual di media sosial, meskipun harganya tidak sesuai
isi dompet. Kontribusi gue dalam bisnis itu adalah gue berhasil menjual flashdisk
dan software Adobe. Gue pernah mempromosikan Oculus Rift, tapi sepertinya
barang seperti itu terlalu mahal untuk dijual.
Kelas 2 SMA, teman gue akhirnya tidak berjualan lagi
dan otomatis gue juga tidak berjualan lagi. Bibi gue kembali menawarkan bisnis
baru yang dia dapatkan, yaitu jualan pulsa. Meskipun penghasilannya sedikit,
tapi tetap gue coba.
Gue mulai berjualan pulsa dan menawarkan diri untuk
mengisi pulsa teman-teman gue, yang pastinya bayar. Beberapa teman gue meminta
gue mengisi pulsanya dan terkadang rata-rata gagal masuk sehingga gue juga
terkadang mengalami kerugian. Kebanyakan yang meminta gue untuk isi pulsa yaitu
Paman dan Bokap gue. Ketika mereka mengetahui gue jualan pulsa, gue selalu dikejar-kejar.
Bahkan ketika gue lagi di sekolah, gue harus terburu-buru mengisi pulsa mereka.
Hingga akhirnya gue kelas 3 SMA, gue mulai berhenti
jualan pulsa karena handphone gue rusak. Dan ketika itu gue menyadari satu hal,
gue gak cocok menjadi seorang pengusaha. Bahkan gue beranggapan pengusaha
merupakan karir yang cukup merepotkan karena gue sudah sering mengamatinya.
Setiap hari, di rumah gue selalu terdapat suara teriakan dari orang-orang yang
sedang bekerja. Setiap hari harus pergi ke Bank, setiap hari harus mengambil
bon tanda terima, setiap hari harus ketemu klien, dll.
Mungkin juga, gue bisa menjadi seorang keturunan
pertama yang tidak menjadi pengusaha. Sekali-sekali menjadi yang beda itu lebih
baik.