Monday, July 25, 2016

Babybrother

Sebagai anak, tentunya kita ditugaskan atau bahkan memang sudah sepantasnya kita menghormati dan membantu orang tua. Menurut gue, orang tua adalah orang yang memiliki pengorbanan yang tinggi karena mereka berusaha menjaga seorang anak titipan dari Tuhan.

Gue sebagai anak, tentunya selalu berusaha untuk membuat orang tua gue bangga karena gue tahu mereka dari dulu bersusah payah untuk menjaga kita. Kenapa gue bisa tahu? Karena gue mengalaminya.

Tahun 2011, gue pergi sendiri ke Surabaya dalam rangka liburan sekolah. Bertepatan dengan hari berakhirnya UN, gue pun pergi ke Surabaya untuk jalan-jalan. Gue pergi bersama saudara dan kakak ipar gue. Sesampai di Surabaya, gue menginap di rumah saudara gue yang lain.

Sekitar beberapa hari gue menginap di rumah saudara, gue kembali dipindahkan menuju rumah saudara gue yang lain yang telah mempunyai anak. Tentu saja, di usia semuda ini gue sudah menjadi seorang paman. Mungkin bayinya berpikir, “Paman gue awet muda.”

Gue tinggal di rumah saudara gue yang sudah berkeluarga. Alasan gue tinggal di sana adalah untuk menjadi teman bermain seorang bayi. Waktu itu, gue masih bocah banget. Gue suka bermain mainan dan bermain permainan masa kecil. Karena gue memiliki bakat menghibur seorang bayi, maka gue dipercaya menjadi seorang babysister. Karena gue cowok, jadi gue ubah menjadi babybrother.

Sepanjang hari, gue bangun dimulai dengan mengajak bayi bermain. Karena saudara gue membuka bisnis mainan, maka di rumahnya seperti Trans Studio Bandung. Bukannya jaga anak, gue malah asik bermain.

Selama berhari-hari gue menemani keponakan gue dalam melewati harinya. Ketika dia menangis, gue mengajak dia untuk bermain petak umpet. Ketika dia takut, gue mengajak dia bermain ciluk baa. Ketika dia kebelet boker, gue mengetuk pintu kamar mandi dan berteriak “Cepetan, udah sampai pucuk, nih.”

Kadang gue bisa tidak tidur berhari-hari hanya untuk menemani dia tidur. Kadang juga, gue jadi tidak bisa tidur karena organ vital gue selalu sengaja keinjak kakinya, gue merasa menderita sekali.

Kadang ketika dia sudah tidur, gue harus perlahan-lahan untuk tidur agar dia tidak bangun dan bermain-main kembali. Gue pernah menemani keponakan gue bermain sampai jam 4 subuh. Sampai pada akhirnya dia tidur, gue pengen tidur tiba-tiba gue jadi insomnia, kampret.

Seperti yang kalian lihat, ini bukanlah liburan. Tapi belajar memahami seorang bayi yang tidak memahami seorang paman. Selama gue liburan di Surabaya, yang sering gue lakukan adalah menemani dia bermain. Ketika sedang berada di mall, gue harus berlari-lari menjaga keponakan gue agar tidak terjatuh, terbentur, dll. Kalau sampai kejadian itu terjadi, yah mungkin kalian sudah tahu siapa yang akan di salahin.

Di malam terakhir gue di Surabaya, gue dan keponakan gue tidur bersama. Gue bermain dengan dia sepuasnya sebagai tanda perpisahan gue dengannya. Esoknya, gue bangun secara diam-diam agar dia tidak menyadari gue sudah pergi. Dan ketika menyadari gue sudah tidak berada di Surabaya, keponakan gue menangis. Sesampai di Medan, gue di telepon dan yang menelepon adalah keponakan gue. Dia berkata dengan bahasa bayi,

“Suksuk, mamambabaabababmibaba?” yang artinya “Kapan aku bisa menyiksamu kembali?”

Gue menjawab, “Saat kamu tumbuh besar nanti, kamu akan mengerti.”


No comments:

Post a Comment