Musik adalah salah satu hal yang keren menurut gue. Tanpa musik, mungkin sekarang kalian gak bakal mengoleksi lagu-lagu kalian di
History lagu hape. Gue suka sekali dengan musik. Bahkan gue sering bernyanyi
diam-diam di tempat gak jelas, meskipun suara gue cempreng abis. Seperti kamar
mandi, kamar tidur, mobil, di belakang rumah, dan di tempat manapun. Bahkan,
malam-malam pun gue sering nyanyi dengan suara cempreng, sehingga tetangga
menyangka ada babi di sembelih. Kebetulan waktu itu malam jumat, jadi hantunya
pada nonton konser ilegal gue di halaman belakang.
Ketertarikan gue dengan musik semakin menjadi-jadi.
Gue suka menyanyi, tapi suara gue yang cempreng menghambat potensi gue untuk
menjadi penyanyi solo. Gue mencoba mencari bakat musik gue yang terselubung dan masih belum di
temukan sampai sekarang, bahkan arkeolog
yang menemukan fosil kuntilanak pertama pun gagal menemukannya (emang ada fosil
kuntilanak?). Karena gue gak bisa nyanyi dan suara gue jelek, akhirnya gue
memilih untuk bermain musik.
Pencarian bakat pun di mulai. Yaitu, musik apa yang
paling gue suka. SD dulu, gue pernah bermain alat musik pianika. Dan kebetulan
gue mendapat nilai terbaik saat memainkan musik tersebut. Tapi, jika di
pikir-pikir, saat gue bermain pianika, cara gue bermain pianika waktu itu kayak
bocah baru akil balik. Piano, kegedean dan gak ada uang untuk beli piano.
Keyboard, di rumah udah banyak untuk komputer. Gitar, wahh boleh di coba. Gue
pun jatuh hati pada gitar. Malamnya, gue browsing di internet dan membuka online shop dan mencari yang jual gitar,
hasilnya gak sesuai harapan.
Otak gue pun berputar dan mencari akal gimana agar gue
bisa mendapatkan gitar untuk latihan, dan akhirnya gue dapat ide tersebut. Gue
mencari teman gue yang kebetulan mempunyai gitar dan berita baiknya, dia jago
main gitar. Gue bisa meminjam gitarnya dan meminta diajarin untuk bermain gitar
tanpa di bayar, yah gue emang sepelit itu.
Waktu itu, gue masih agak bego banget. Gue gak mikir
secara matang-matang apa yang gue pikirkan. Gue chatting dengan teman gue,
Vincent. Kebetulan dia memiliki gitar, tapi gitar akustik. Gitar klasik aja gue
gak pernah mainin, apalagi gitar akustik. Di kelas, gue bertanya pada teman gue
yang satu lagi, Afandi. Dan kebetulan, gue meminjam gitarnya juga. Jadi, gue bawa
pulang 2 gitar sekaligus. Di sekolah, gue dikira penjual gitar ilegal.
Siang harinya, gue pulang kerumah
Dengan membawa 2 gitar. Nyokap terkejut dan
menghampiri gue. Nyokap curiga, dari mana gue bisa mendapatkan uang sebanyak
itu untuk membeli gitar.
‘Har, kamu dapat uang dari mana tuh?’
‘Ma, ini kan gitar, bukan uang!’
‘Iya, maksud Mama, kamu dapat dari mana tuh gitar.
Jangan asal jawab kamu!’
‘Iya, Ma sorry. Aku minjem’
‘MINJEM KATAMU!?’
Nyokap terkejut sekaligus mengeluarkan suara yang gak
sama cemprengnya dengan gue. Gue pun menjelaskan bahwa gue pengen mengembangkan
bakat gue untuk bermain gitar. Nyokap bukannya mendukung, malah menyindir gue.
'Mau main musik? hahaha, ngepel sana.' Hubungannya sama musik apa, ma?
Saat masih TK, gue merupakan anak akil balik yang suka
banget dengan band rock. Band rock yang paling gue suka adalah Bon Jovi. Gue sangat menyukai band
tersebut dan gue jatuh cinta. Bahkan gue sempat ingin menikah dengan mereka,
namun sayang mereka cowok semua, jadi acaranya gue batalin.
Saking sukanya terhadap Bon Jovi, gue sudah lupa
lagu-lagunya. Kembali dengan peminjaman gitar tadi. Gue pun tidak sabar untuk
memainkan gitar tersebut. Gue mengganti baju, tanpa peduli apapun kalau gue
masih pakai kaos kaki di kamar. Pertama, gue memilih untuk bermain gitar
klasik. Sayangnya, jari tangan gue jadi bengkok.
Kedua, gue memilih akustik milik Vincent. Gue
memegangnya dengan bangga, serasa jadi rocker banget gitu. Namun sayang, jari
tangan gue jadi bengkok lagi.
Nyokap melihat gue dengan serius saat gue memainkan
gitar tersebut. Di dalam kamar yang gelap dan cahaya dari satu jendela kamar
agar gue bisa main gitar dengan mudah. Nyokap datang menghampiri gue dan waktu
itu dia bilang satu kalimat yang sampai sekarang gue gak pernah lupa sama
sekali.
‘Har, bukain lampunya dong!’.
Esoknya, gue mendapatkan balasan chat dari teman gue,
Devin. Dia memberitahu gue aplikasi yang bisa membuat gue untuk pintar bermain
gitar. Kayaknya seru, pikir gue dalam hati. Gue segera mendownload aplikasi
tersebut di handphone gue.
Setelah gue download, gue pun dengan tidak sabar
membuka aplikasi tersebut. Gue lihat aplikasi tersebut, tapi gue tidak tau cara
agar membuat gue bisa pandai main gitar. Tidak ada tombol spesial yang bisa
membuat gue main gitar. Sekali pencet, langsung pintar main gitar.
Di kelas, gue bertemu Devin kembali. Gue pun
bertanya-tanya tentang aplikasi yang kemarin dia rekomendasi ke gue.
‘Dev, aplikasi kemarin itu pencet yang mana biar jago
main gitar?’
‘Loh, siapa bilang itu aplikasi untuk pande main
gitar?’
‘Hah, jadi?
‘ITU APLIKASI UNTUK NYETEL GITAR, BEGO!’
Gue kaget. Ternyata selama ini, sebuah aplikasi yang
tujuan menghabisin kuota gue dan gue ngarep kalau aplikasi tersebut bisa
membuat orang pande main gitar, APLIKASI UNTUK NYETEL GITAR. Bego banget sih
lo, Har.
Dengan penuh emosi dan dendam terhadap aplikasi
tersebut, akhirnya gue uninstall
kembali. Setelah aplikasi kampret yang menghabiskan kuota gue di uninstall, gue
pun kembali bermain gitar, namun masih tidak berhasil. Akhirnya, gue pun
menyerah. Mungkin, Tuhan tidak membiarkan gue memiliki talenta dalam bidang
musik, sampai-sampai akhirnya jari-jari gue bisa bengkok kayak gini. Gue pun
akhirnya mengembalikan gitar mereka.
Kebetulan waktu itu hari minggu, gue pergi menuju
rumah Vincent. Rencananya sih mau buat kerupuk, tau-tau ceritanya gagal.
Gue pun meletakkan gitar gue yang akan di kembalikan.
Saat mau meletakkan gitar, tiba-tiba terdengar suara, tenone tenone
tenonononene, loh kok jadi suara gerobak eskrim Walls?. Suara tersebut berasal
dari dalam tas yang berisi gitar tersebut. Apakah mungkin ada tuyul yang
terperangkap? apakah ada uang lima puluh ribu yang ketinggalan? atau beneran
ada gerobak eskrim Walls di dalam?. Setelah teman gue buka, ternyata SENAR
GITARNYA PUTUSS.
‘Vin, gimana gitarnya?’
‘Kampret, kenapa bisa putus kayak gini?’
‘Gue gak tahu, tuh gitar dari rumah kayaknya masih
oke’
‘Aduhh, gimana nih?’
Setelah itu, Vincent meletakkan gitarnya menuju
kamarnya tersebut. Tanpa disadari, dia gak minta ganti rugi ke gue. Wawww,
hebat, gitar yang harganya 500 ribu yang kualitasnya high class dan gue membuat senarnya patah, gak disuruh ganti rugi?
Yah, kebetulan sih uang gue lagi bokek. Mungkin dia tau perasaan gue, mungkin
dia jodoh gue, mungkin dia istri masa depan gue. Oke yang tadi itu bohongan,
serius bohongan.
Setelah itu, suasana berubah. Vincent tidak
berkomentar apapun tentang gitarnya yang rusak karena ulah tangan gue sendiri.
Dia pun melanjutkan kegiatannya, yaitu bermain game. Gue seperti merasa
bersalah sekali. Gue pengen berkata kepadanya kalau gue ingin ganti rugi. Namun
sayang di kantong gue cuma ada duit 500 perak.
No comments:
Post a Comment