Kalo
kalian sudah membaca tentang AADA sebelumnya, maka saya akan menceritakan
tentang AADC 2 yang sebenarnya. Lebih tepatnya, pengalaman saya pergi menonton
film bernuansakan romantisme karya tanah air ini.
Begini
ceritanya, saya pulang dari sekolah, tepat pukul jam 12 siang. Seperti biasa
lautan manusia titan yang bertubuh
besar dan tegap memenuhi jalanku, saya harus mengarunginya dengan segenap upaya
dan kerja keras—karena saya pendek. Intinya, saya memasuki mobil dan hawa
dingin dari AC menyetop keringatku dari bercucuran. Heaven, pikirku. Entah kenapa sejak gerhana matahari yang booming, yang cetar membahanakan
seluruh Indonesia ini Medan sekarang terasa seperti gurun sahara yang panas
yang mungkin sudah mencapai 50 derajat Celcius bagiku.
Sontak
suara ibunda mengiang di telingaku, “Thasia, mau ke TP ngga?”
Mataku
langsung berkilauan seakan seperti melihat duit jatuh dari langit. Sebenarnya
TP ngga wow, wow amat sih, intinya itu mall dan disana itu dingin! Astaga, itu
dingin! Dan saya lapar, perutku sudah berbunyi dari beberapa jam yang lalu, ah,
saya ingat sejak pelajaran Mate dimulai. Seperti anak kecil yang mendapatkan
bonbon yupi, saya mengangguk dengan cepat.
Sekilas
sampailah kita ke TP. Seperti biasa adu mulut yang masih tingkat rendah terjadi
diantara kami, menentukan tempat makan. Ada yang ingin makan dimsum, ada yang
ingin makan texas, ada yang ingin makan kwetiaw (itu bukannya di pasar rame
baru enak ya?)…Tetapi mataku malah berlari ke arah lain ketika menaiki
eskalator menuju lantai 7.
Terpampang
manis disana seakan menggodaku, berkata seperti ini: “Thasia… AADC 2, Thasia
AADC 2… Yuk, nonton kemari…” dasar,
pikirku. Film AADC merupakan tanda kebangkitan perfilman Indonesia di tahun
2002, yang mana saat itu Indonesia berada pada masa mental breakdown-nya dan sebenarnya, film Indonesia saat itu
hancur banget! Kenapa saya bisa lengket banget, jatuh cinta mati sama yang
namanya AADC, padahal tahun kemunculan itu saja saya masih minum susu di dodot,
masih seru-seruannya main gasing (kalau gak tau, MKS kalian).
Seakan
seperti Edward Cullen, bokap membaca pikiranku dengan entengnya, atau memang
mukaku yang polos menunjukkan semua isi hatiku? Dia langsung membawaku ke
bioskop dan langsung membelikanku tiket yang akan tayang jam setengah satu,
lebih tak disangka lagi, saya dibelikan popcorn rasa karamel kesukaan saya!
Saya hanya mampu berdiam diri, tak mampu berkata, bisa bayangin gak, ini
semacam memenangkan lotteri di Las Vegas, dan ada orang yang meneriaki, “Hey, that girl hit that damn jackpot!
Attack!” Okay, lupakan imajinasi tingkat dewa saya.
Dengan
keadaan terburu-buru saya langsung memasuki bioskop pintu 3. Mbak yang menjaga
pintu seakan melihatku dengan tatapan, “Nih anak kesasar nyolong atau gimana
sih?” Untuk menghindari saya ditangkap satpam dan dibawa keluar, saya langsung
menyodorkan tiket ke hadapannya. Lalu mbaknya seperti mengangguk, “Oh,
pelanggan ternyata,” sekali lagi matanya yang dipenuhi oleh maskara dan
eye-liner itu melihat saya dengan tatapan tak menyenangkan. Bodo amat, saya udah telat, udahlah kasih
saya masuk, dia mengoyak tiket saya dan spontan saya mendobrak pintu itu
masuk.
Inilah
yang membuat saya seakan seperti Captain
America yang disorot oleh ratusan mata di bioskop itu. Bodo amat, pikirku sekali lagi, saya langsung duduk di satu tempat
yang kosong, bukan bangku kosong ya, please,
saya lagi nonton film romantis bukan film horor!
Tempat
duduk saya hampir dikatakan strategis tetapi tidak sestrategis Indonesia yang
diapit oleh dua benua dan dua samudera, tetapi saya duduk hampir di tengah dan
diapit oleh dua pasangan yang sedang pacaran. Itu adalah sebuah penghinaan bagi
seorang jomblo seperti saya, dan saya lebih parahnya nonton sendiri, tak ada
yang menemani… Sudah terlalu lama
sendiri, sudah terlalu lama aku asik sendiri, lama tak ada yang menemani
rasanya.
Kembali
ke laptop, barisan depan saya dipenuhi oleh ibu-ibu alay yang nampaknya sedang
arisan, tapi arisannya nonton, entahlah, saya tidak mengerti pemikiran ibu-ibu
kecuali nyokap saya. Mereka hebohnya bukan main, ketika Dian Sastro keluar
tampil dalam perannya cinta, ibu-ibu heboh mericuhkan suasana tenang bioskop,
“Eh, si Dian makin cantik, ya, makin cantik, saya kayak aq loh jeng…” Pengennya
pada saat itu langsung saya teriakin, “Ibu, ngaca dulu dong bu, itu artis, bu,
jelas cantik, lah kalau ibu lemak ibu dimana-mana, cetar membahana, nge-gym
dulu baru ngomong…”
Yang
parah para ibu-ibu ini masih sempat selfie dengan layar kaca yang lebar itu dan
post ke akun BB-nya ataupun instagram,
“Jeng, lihat deh, eke up-to-date kan?” Dalam hati saya tak sabaran menyahut,
“IBU, BISA GAK SIH AGAK TENANG DIKIT, YANG LAIN TERGANGGU NEH! MAU UPDATE
STATUS, UPDATE SAJA NANTI, TOH YANG LIKE JUGA YANG DUDUK DISAMPING IBU..!”
Sampe-sampe saya dan sejoli pasangan disamping saya harus mengeluarkan kata hush untuk menenangkan mereka.
Akhirnya
saya bisa mendapatkan ketenangan yang saya inginkan, menonton dengan santai
disertai oleh bantalan kursi yang nyaman nan empuk dan tentunya tanpa
kecoa-kecoa berterbangan mengganggu konsentrasi saya, bioskop TP sudah maju. Belum saja saya dapat menikmati, tiba-tiba
suara tangis seorang anak kecil menggemparkan seluruh studio, dalam hati saya
berkata, “Cobaan jomblo itu kok banyak sih? Mau nonton aja susah…” Pengen
banget saya kasih tau ibunya, “Ibu, ini filmnya film dewasa, anaknya ngga cocok
nonton beginian, ntar cepet gede susah lo, bu. Besok dibawakan pulang mantu,
ribet.”
Belum
lagi beberapa saat ketika Cinta membacakan puisi Rangga yang ada kalimatnya
seperti ini kira-kira: “…lihat tanda tanya itu, jurang antara kebodohan dan
keinginanku memilikimu sekali lagi.” Ini adalah moment dimana saya hampir
menitikkan air mata karena terharu, tersentuh inti jantungku oleh kata-kata
yang amat mendalam, tapi seakan ditarik kembali karena ada kata-kata yang
tertangkap oleh telingaku, “Beb, mirip kita ya beb…” “Iya, sayang, berapa
purnama pun tidak akan memisahkan jarak diantara kita.” “Ih, bebeb gombal nih!”
Tau? Saya ini dilimpahkan oleh amarah yang berlimpah, lautan emosi mengontrol
diriku, ingin sekali saya teriak, “MAAF, INI BIOSKOP BUKAN RUMAH KALIAN, DISINI
ADA JOMBLO BELUM PUNYA PACAR, ANTI-GOMBAL, MOHON PENGERTIANNYA TERIMA KASIH.”
Namun
secara keseluruhan film ini memang membuat saya mengacungkan keempat jari
jempol saya, karena memang perfilman Indonesia sudah maju luar biasa dan ini
bukanlah pengorbanan yang sia-sia. Ketika film usai, seperti biasa semua orang
beranjak pergi menuju pintu keluar, lalu ketika saya berdiri, sorotan mata
kembali tertuju padaku, seketika itu saya seakan tersadar, terbangun dari alam
mimpi saya, Dasar, apakah hanya saya
seorang jomblo? Seorang anak SMA ingusan yang memakai baju seragam SMA menonton
film ini? Biar saya tidak dikerumunin fans dan ditanyai oleh ribuan
pertanyaan oleh reporter, saya langsung mempercepat langkah saya yang dari
10cm/detik menjadi 180km/detik.
Saya
dipenuhi oleh kebahagiaan yang melimpah karena film ini, dibaperin sih, tapi ya
udahlah, toh jodoh juga nanti bakalan ketemu. Tetapi, yang paling gak enak dari
semuanya adalah ketika saya keluar dari bioskop. Tenang, saya tuliskan. Ini
menyangkut epic dari kehidupan saya
sebagai seorang jombloer, ketika
mataku menangkap bayangan yang tak asing dari pasangan yang juga baru keluar
dari bioskop sebelah (btw, saya lupa ngasih tau, Civil War dan AADC 2 adalah film yang tayang saat itu). Teman
sekelas saya pacaran dengan kekasihnya! Melihat mereka, lalu untuk sesaat saya
berpikir, Apalah aku, aku hanya seorang
diri merana dalam kesepian, tak ada yang menemani, nonton sendiri, makan
popcorn sendiri, nangis sendiri, keluar bioskop sendiri…
CAUTION:
Yang jadi jomblo jangan nangis ya kalau baca ini, karena saya sendiri juga
hampir nangis melihat kisah tragis ini.
Sekian.
NATHASIA CHRISTY.
No comments:
Post a Comment