Friday, December 22, 2017

Pain

Namaku Rahayu. Aku mahasiswi fakultas kedokteran di sebuah Universitas elite di Jakarta. Keseharian ku hanya menatap tesis penelitian dan tugas kuliah yang tak kunjung siap. Tiap hari aku hanya bisa mengejar dosen untuk memintanya menerima laporan penelitianku. Aku seperti mengemis cinta darinya hanya untuk mendapat arti bahagia darinya. Terdengar konyol.

Aku tidak pernah merasakan arti cinta dalam hidupku. Pernah suatu ketika, temanku bernama Helena bertanya tentang hal ini. “Apakah selama kamu begitu sibuk dengan teori anatomi ini, kamu tidak pernah merasakan cinta yang sejati yang datang padamu?” Sejujurnya, aku bingung kenapa cinta itu harus begitu dipikirkan.

Malam hari, rembulan menerangi gelap nya langit. Aku duduk merenung di rumah, menonton sebuah serial drama cinta antara seorang laki-laki dan perempuan. Ceritanya, perempuan ini adalah seorang dokter dan laki-laki ini adalah seorang pegawai biasa. Laki-laki itu tidak memiliki gaji tetap dan berkehidupan seperti orang biasa yang sama sekali tidak dapat hidup bermewah-mewahan. Sedangkan perempuan tersebut adalah sebuah dokter spesialis terkenal yang suka menolong orang lain. Mereka bertemu dan saling merangkul hingga membuat derajat laki-laki itu naik menjadi seorang pengusaha. Namun, laki-laki tersebut tidak mencintainya. Ia hanya menganggap bantuan dari perempuan tersebut  adalah berkah yang ia dapat.

Tanpa ia sadari, perempuan tersebut adalah berkah untuk dirinya yang sebenarnya. Perempuan itu menangis sampai-sampai nafas pun tak dapat dihirup. Dada terasa sesak dan punggung terasa berat menerima kenyataan pahit.

Sesaat aku menonton serial drama itu, aku berpikir cinta juga bisa mendapat rasa sakit yang mendalam. Semua orang berpikir bahwa cinta adalah kasih untuk bahagia bersama, tetapi cinta bisa menyakiti seseorang yang tanpa kita sadari kita tidak memberi kasih yang bahagia untuknya. Mungkin opiniku begitu karena itu hanya serial drama saja.

Embun pagi menerpa ruangan hingga diriku menggigil. Ayam berkokok menandakan saat nya aku kembali ke kampus. Aku berteman dengan Helena, teman dekatku yang waktu itu bertanya kepadaku tentang cinta. Aku menghampirinya dan menarik dirinya menuju teras dekat fakultas bisnis. Aku pun menyampaikan satu hal. “Aku semalam baru saja menonton serial drama itu”.

“Terus, gimana kamu sedih?” tanya Helena, penasaran.

“Emm, aku bingung kenapa awalnya cinta itu memberi rasa bahagia tetapi berujung pada cinta memberi kenyataan pahit dan rasa sakit?” tanya diriku, bingung.

Helena berpikir tak tahu-menahu. Ia mengambil sebuah buku sistem saraf, membuka satu lembar halaman, dan melipat beberapa bagian kertas. Lalu ia menulis sebuah kalimat “Bukalah ketika kamu menemukan cintamu.” Ia lalu memberikan buku itu padaku tanpa ada sebab mengapa ia memberikannya padaku. 

“Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu memberikan buku sistem saraf? Kita sudah akan mulai sidang skripsi” kataku, bingung.

Helena hanya tersenyum lalu ia pergi. “Dah, aku pergi dulu ada urusan.” Ia melambaikan tangan seolah-olah ada sesuatu yang akan segera datang kepadaku. Aku berdiam diri dan masih merenung di dekat fakultas bisnis. Aku berusaha licik dengan membuka dibalik lipatan kertas itu. Namun aku merasa ini akan seru ketika suatu hari nanti aku akan membukanya. Aku mengurungkan niatku membukanya dan menutup mataku tanpa berpikir apapun.

Udara yang segar dan angin yang datang begitu santai membuat pagi hari ini begitu sejuk. Angin itu membuat aku menjadi tidak berpikir apapun dan tidak menyadari apapun. Pikiranku kosong dan semakin kosong.

Saat aku membuka mata dan mengarahkan hadapanku ke langit, tiba-tiba timbul wajah lelaki yang menatap diriku dengan kebingungan. Seketika aku terkejut dan melempar buku sistem saraf Helena tadi mengenai wajahnya. Ia terjatuh dan pingsan. Aku panik.

Aku membuat laki-laki itu tidak berdaya dengan sekali lemparan buku sistem genetika. Luar biasa. Aku berusaha berteriak minta tolong, namun waktu itu suasana sangat sepi. Seketika diriku menyerah, aku hanya menggunakan tenaga wanitaku saja.

Aku merangkul menuju fakultas kedokteran dan segera membawanya menuju ruang kesehatan. Di sana aku membiarkannya terbaring dan merawatnya hingga ia sadar. Aku mengambil minyak kayu putih yang selalu kubawa lalu aku memberi sedikit tetesan minyak tersebut ke sela-sela hidung agar ia bisa menghirup dengan segar. Beberapa jam kemudian, ia kembali sadarkan diri.

“Dimana aku?” tanya laki-laki itu, panik.

“Kamu tadi pingsan setelah aku melemparkan bukuku ke hadapan wajahmu. Aku merangkul mu ke sini dan merawatmu hingga sadar” kataku, berusaha menjelaskan.

“Oh kamu, dasar. Sebaiknya kamu tidak datang ke area fakultas bisnis” kata dia, menegur.

“Iya maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi” jawab diriku, minta maaf. “Namamu siapa?” tanyaku kembali.

“Billy. Bill saja” jawab dia sambil menggaruk kepala.

“Rahayu. Ayu saja.” jawabku, membalas.

Kamu saling menatap, lalu membalikkan kepala lagi seolah-olah merasa malu. Itulah pertama kalinya aku malu ketika ada seorang laki-laki yang menatap diriku. Ada perasaan lain yang tidak ku mengerti.

Kami keluar dari ruangan dan pergi menjauh. Ketika itu, aku ada kelas dan beranjak menuju ruangan. Aku merenung dan memikirkan kejadian aneh tersebut. Apa yang membuatku berpikir aku memiliki perasaan lain yang ku tak tahu.

Helena menepuk ku dan melambai-lambaikan tangan ke wajahku seolah memintaku untuk segera sadar. Aku fokus kembali dan terkejut. Helena menertawakan ku dan berpikir aku sudah gila.

“Mungkin kamu butuh istirahat, yu” kata Helena, menyarankan.

“Aku gak gila lah” kataku, kesal.

Malamnya, aku dirumah berbaring sebentar. Mengambil ponsel ku dan menyalakannya. Membuka pesan messenger yang masuk dan membalasnya satu-persatu. Tiba-tiba di dalam pikirkan teringat wajah Bill kembali. Aku merasa diriku aneh dan berusaha mencari tahu. Aku penasaran kenapa Bill bisa membuat diriku penasaran dengan nya.

Aku berusaha mencari contact messenger nya, namun tidak berhasil. Aku membuka halaman Facebook ku dan mencari nama Bill, namun tidak berhasil. Dari sekian nama Bill tidak ada yang sesuai dengan wajah Bill. Lalu, aku menemukan sebuah nama yang sangat familiar, yaitu Billy Ananta Kusuma. Aku membuka profile nya membaca tentang dirinya. Ia lahir di Jakarta tanggal 16 Maret, mahasiswa Fakultas Bisnis dan jurusan bisnis internasional. Ia memiliki keluarga kaya dan sederhana. Makanan kesukaannya adalah salad dan minuman kesukaannya adalah fanta.

Aku langsung menemukan contact messenger nya lalu aku mulai mengobrol dengannya dengan kata “Hai”. Saat itulah, aku pertama kali mengajak mengobrol dengan cowok misteri yang menurutku dapat menaruh perasaan yang tak ku mengerti. Semakin hari diriku tergila-gila dengan kejadian di area fakultas bisnis itu. Apa ini yang dinamakan cinta?

Setengah hari aku menunggu hingga larut malam, obrolan ku tak kunjung di balas. Aku merasa dingin dan membiarkan nya saja. Ketika itu menutup ponselku dan kembali tidur. Tiba-tiba bunyi ponselku berdering. Aku segera bangun dan membuka ponselku, seperti baru saja mendapat sebuah hadiah mobil.

Aku mengobrol dengannya hingga subuh tiba. Obrolan kami tampak biasa-biasa saja. Tak ada yang seru dan istimewa. Isinya seperti ini.

Messenger Me: Haii
Messenger Bill: Yoo
Messenger Me: Kok belum tidur?
Messenger Bill: Iya, belum ngantuk
Messenger Me: Aku gak bisa tidur
Messenger Bill: Aku bisa, bye

Singkatnya obrolan itu membuat ku berpikir, mungkin ini hanya permulaan, apalagi kita baru saja saling kenal. Keesokan harinya, aku sengaja datang ke area fakultas bisnis, berharap bisa bertemu dengannya tanpa sengaja. Aku sengaja makan di kantin fakultas bisnis agar bisa bertemu dengannya. Meskipun di sana hanya aku yang datang diam-diam dari fakultas kedokteran.

Seketika, aku melihat Bill bersama teman-temannya. Ia mengobrol sambil memesan makanan. Aku pun ingin bertemu dengannya, namun malu tidak tahu harus bagaimana. Akhirnya aku mendapat ide. Aku pura-pura berjalan ke arah sana dan berpura-pura bertemu dengannya secara tidak sengaja.

Aku berjalan dengan rasa berani dan takut serta malu. Melewati ratusan mahasiswa FIB hanya untuk menemui Bill. Namun, saat aku sampai di tempatnya, Bill bersama teman-temannya beranjak pergi. Aku merasa malu seperti orang yang salah tingkah.

Ketika itu, aku keluar dari area FIB dan pergi. Namun, secara tidak sengaja aku bertemu dengan Bill yang sedang sendirian tanpa ditemani teman-temannya. Aku pun memasang wajah senyum dan berusaha akrab-akraban dengannya. Namun ia hanya menyapaku dengan kata “Haii” sambil memasang wajah datar. Aku terdiam.

Sesampai dirumah, aku mampir ke kos Helena. Aku menceritakan semua ini kepada Helena dan reaksi Helena malah tertawa terbahak-bahak. Ia mengatakan kalau yang kulakukan belum terlalu kuat untuk bisa mencari arti cintaku. Helena menganjurkan diriku untuk lebih serius memperlihatkan diriku pada Bill bahwa aku mempunyai rasa padanya dengan sifat memaksa.

Aku melihat kalender ponselku dan besok adalah tanggal 16 bulan Maret. Itu berarti, besok adalah hari ulang tahun Bill. Helena mengiyakan, karena ia diundang secara langsung oleh Bill sendiri. Aku terkejut.

“Ka..ka..kamu kenal Bill?” tanyaku, kaget.

“Tentu saja, Bill itu teman SMA ku” jawab Helena, mengiyakan.

Saat itu aku merasa berat dalam menghadapi cobaan yang sedang kulalui. Aku berpikir kenapa aku tidak meminta bantuan Helena dari hari itu? Helena pun berniat membantuku. Ia memintaku berdandan dengan cantik agar bisa menarik perhatian Bill nanti.

“Tapi kan aku gak di undang sama dia?” tanya diriku, bingung.

“Udah, ikuti saja kata-kataku” jawab Helena, seolah-olah merencanakan sesuatu.

Esok malamnya, aku berdandan. Aku memakai dress berwarna putih dan high heels yang sudah lama tidak kupakai. Aku sampai meminjam lipstik milik ibuku dan parfumnya. Malamnya, aku di jemput Helena. Sesaat perjalanan, aku gelisah dan hatiku tidak tenang. Aku tidak diundang oleh Bill namun aku datang dengan alasan aku menyukainya.

Saat sampai di kediamannya, turun dari mobil dan Helena langsung meninggalkan ku. Ia pergi memarkirkan mobilnya dan bertemu dengan teman-temannya yang lain. Aku berjalan sendiri seperti orang asing. Banyak yang melihatku dan aku merasa sangat malu.

Bill yang tengah mengobrol dengan teman-temannya secara tidak sengaja melihatku. Ia lalu menghampiriku dan memanggilku.

“Sedang apa kamu disini? Aku tidak mengundangmu” tanya Bill, bingung.

“Yah gak kenapa-napa. Emang gak boleh?” jawabku, percaya diri.

Bill bingung atas tingkah yang dilakukan oleh diriku selama ini. Bill curiga dengan tindakanku yang selalu saja berusaha mendekati nya. Pada saat itulah, Bill mulai tidak peduli padaku. Ia bahkan tidak melihatku dan lebih mengobrol dengan perempuan lain. Yang secara penampilan, perempuan itu lebih cantik dariku. Ia bahkan menari bersama dengan perempuan itu dan memeluk perempuan itu. Seketika aku melihatnya, diriku merasa hancur, sangat hancur.

Aku menangis di luar tanpa siapapun yang tahu. Helena mencari ku lalu ia melihatku menangis tersedu-sedu di luar. Ia memelukku dan merangkulku sambil berkata “Ayo, kita pulang.” Sesampai dirumah, Helena tidak memberitahu kedua orang tua ku terkait kejadian di pesta tersebut. Helena lebih menutup mulut dan membiarkan diriku untuk bisa kembali menghirup nafas segar dan berharap aku melupakan itu.

Aku masih sedih dan terus memikirkan kejadian yang menyakitkan itu. Aku tidak sanggup melihat kejadian itu dan berpikir sebegitu kejamnya Bill melakukan hal itu dihadapkan sendiri. Dia pasti tahu aku menyukainya tapi ia tidak menyukaiku. Saat itu, di malam yang begitu gelap dan suhu yang dingin, aku memutar kembali sebuah serial drama yang pernah kutonton. Aku menonton hingga habis. Perasaan ku bercampur aduk antara melihat adegan drama itu dengan kejadian menyakitkan yang kualami malam ini. Malam ini menjadi malam yang panjang untuk bisa melupakan itu semua. Aku beranjak menuju meja belajarku dan melihat sebuah janjiku dengan Helena. Janjinya adalah kita akan lulus bersama dan wisuda bersama. Aku mengusap air mata yang perlahan-lahan mengering di pipiku. Membuka buku pelajaran dan mulai belajar. Mulai fokus mengerjakan skripsi tanpa memikirkan tentang Bill lagi. Aku bahkan menghapus obrolan singkat ku dengan Bill. Malam itu menjadi malam yang panjang. Malam yang pedih dan malam untuk memulai kembali.

Waktu berlalu, aku akhirnya resmi di yudisium dan di wisuda. Sesaat aku memakai topi toga, pikiranku jauh dari wajah Bill. Aku melihat wajah ayah dan ibuku yang bahagia dan menangis melihat diriku. Tangisan itu mirip tangisan diriku yang menangisi kejadian pahitku.

3 tahun kemudian, aku resmi menjadi dokter spesialis saraf. Ayah dan ibuku berniat mencarikan jodoh untukku dan akhirnya ketemu. Pemuda itu bernama Nicky, seorang pengusaha dan direktur utama di sebuah perusahaan komputer terkenal. Aku menikah dengannya dan resmi menjadi istrinya.

Setelah aku menjadi istri seorang pengusaha, aku mulai membiasakan diri mengikut arus bisnis. Aku mulai masuk ke dalam kantor perusahaan suamiku dan menyapa karyawan-karyawan yang bekerja. Aku mengambil sebuah gelas dan pergi mengisi air untuk minum.

Saat aku menuangkan air dari dispenser, ada satu pemuda yang sedang mengantri di belakangku.

“Bu, bisa lebih cepat?” tanya pemuda asing itu, buru-buru.

“Iya, ini sudah mau siap kok” jawab diriku, sambil mengangkat gelas.

Saat aku mendengar suaranya, suara tersebut seperti suara yang pernah ku dengar. Aku membalikkan hadapanku dan melihat wajahnya. Dan ternyata dia adalah Billy Ananta Kusuma atau Bill. Aku terkejut.

“Bi...bi... Bill?”

“Ayu ya?” tanya Bill, merasa mengenal.

Aku segera pergi menjauhinya dan ingin pergi. Aku sudah melupakannya dan move begitu lama, apalagi sudah memiliki suami. Namun, secara tiba-tiba Bill menarik genggamanku.

“Tunggu, dengarkan penjelasanku dulu. Aku ingin bicara” kata Bill, berusaha menghentikan ku.

Aku berusaha melepas tangannya Bill dan segera pergi. Saat itu, aku meminta suamiku untuk mengantar diriku untuk pulang ke rumah dan tidak ingin ke kantor lagi. Aku kembali ke Rumah Sakit dan bekerja sebagai dokter spesialis.

Saat itu, aku mendengar kisah Bill yang bertingkah seperti itu padaku oleh Helena. Helena mengatakan bahwa ia diputusin oleh perempuan yang pernah ia peluk di pesta itu. Ia pun stress dan depresi. Hingga saat ia lulus kuliah, ia hanya bisa menjadi pegawai tetap dengan gaji kecil. Bill stress dan memilih menjadi pengangguran. Ia bertemu dengan suamiku dan meminta suamiku untuk mempekerjakannya di perusahaannya dia. Ia akhirnya resmi bekerja di perusahaan komputer besar itu.

Helena mengatakan bahwa, Bill mendapat tekanan dan terus bertanya-tanya tentang diriku.

“Gimana kabar Ayu sekarang?” kata Helena sambil menirukan gaya bicara Bill. Helena mengatakan bahwa Bill baru sadar bahwa selama ini diriku terus memperhatikannya. Namun Bill melakukan sebuah kesalahan besar hingga akhirnya ia menyia-nyiakan harapan besar itu. Helena berkata bahwa ia memberikan buku sistem saraf yang pernah ia berikan kepadaku itu kepada Bill pada saat acara ulang tahunnya waktu itu. Bill secara sengaja membuka buku itu dan menemukan sebuah kertas lipatan yang pernah di lipat oleh Helena dengan tulisan “Bukalah ketika kamu menemukan cintamu.” 

Ketika Bill membuka lipatan tersebut, ia menemukan sebuah tulisan dibalik lipatan tersebut. Tulisan itu berisi sebuah kalimat yang berasal dari teori isi buku itu dan menjadi kalimat yang memperlihatkan masa laluku dan masa yang di alami oleh Bill saat ini. Kalimat tersebut adalah “rasa sakit.

No comments:

Post a Comment