Sunday, December 24, 2017

About Korea

Korea adalah sebuah negara yang terdiri dari Korea Selatan dan Korea Utara. Korea Selatan dipenuhi dengan Drama Korea dan K-pop. Sedangkan Korea Utara itu dipenuhi dengan nuklir. Jadi kalau mereka berkolaborasi maka akan menghasilkan kembang api untuk malam tahun baru 2018, gila cerdas banget gue. Kali ini, gue akan membahas pengalaman gue merasakan seperti apa K-Pop dan Drama Korea itu dan kenapa banyak sekali diskriminasi untuk para pengemar-pengemar K-Pop dan Drama  Korea di Indonesia. Mari kita bedah satu per-satu.
K-Pop adalah sejenis musik aliran pop asal Korea Selatan karena gak mungkin asal Korea Utara. Kita gak pernah lihat Kim Jong Un ngedance ala-ala penyanyi K-Pop gitu, tapi lucu juga ya kalau dipikir-pikir. By the way, kalimat sebelumnya hanya sebuah candaan. Gue belum siap untuk di rudal.
Tetapi gue masih bingung dengan adanya K-Pop yang masuk mencuci otak para cewek-cewek di Indonesia. Kenapa banyak sekali kaum lelaki yang sebegitu bencinya dengan K-Pop. Apakah mungkin Awkarin pernah membuat cover lagu K-Pop dengan SNSD? Atau bahkan Younglex pernah berkolaborasi dengan BTS sehingga akhirnya membuat K-Pop begitu dibenci oleh kaum lelaki di Indonesia?
Padahal menurut gue, K-Pop itu sebenarnya enak untuk di dengar. Mungkin para lelaki di Indonesia berpikir bahwa K-Pop adalah sebuah penyesatan. Mungkin karena mereka iri kepada cewek-cewek yang tergila-gila dengan kegantengan personilnya. Mungkin juga karena gue yang tergila-gila dengan personilnya, iya personil boyband nya (bercanda). Itulah mengapa banyak cowok-cowok yang jomblo karena mereka tidak bisa mendapat hati perempuan yang mereka suka. Dikarenakan banyak cewek-cewek yang tergila-gila dengan personil cowok K-Pop dan ngebet pengen nikah dengan personilnya. Lantas kenapa? Apakah cowok Indonesia kurang ganteng? Akhirnya gue riset dan cari tahu. Sebenarnya cowok Indonesia bukan kurang ganteng. Cowok Indonesia hanya kekurangan limbah plastik aja. Maka dari itu, disarankan untuk tidak membuang kresek dengan sembarangan agar muka cowok-cowok Indonesia bisa ganteng kembali.
By the way, kembali ke topik. Kenapa menurut gue lagu-lagu K-Pop itu bagus? Karena selain iramanya yang baik, juga bermanfaat untuk olahraga. Waktu gue SMP, gue sering memutar lagu Super Junior. Waktu itu lagunya yang paling terkenal berjudul Mr. Simple. Gue gak tahu kenapa mereka memilih judul seperti atau mungkin mereka ingin menyampaikan pesan bahwa hidup itu gak perlu yang berat-berat, simple-simple saja layaknya Super Junior. Keren gak tuh? Sejak SMP itulah, timbul diskriminasi yang gue alami, gak jadi keren.
Tiap malam gue dengar lagunya. Kadang gue iseng-iseng buka video clip nya lewat Youtube. Sambil lihat video clipnya gue pandangi juga personilnya. Tiba-tiba Nyokap masuk kamar syok, “Astagfirullah, anak kita homo.” Terus kenapa gue bilang bermanfaat untuk olahraga? Karena ketika gue nonton video clipnya, kadang-kadang gue suka ngikutin dance mereka. Gak peduli benar atau gak yang penting dance. Sangking bersemangat dance nya, akhirnya dengkul gue kejedot kaki kasur. Gue bahkan menyimpan lagu-lagu Super Junior di ponselnya Bokap karena waktu itu ponsel gue masih Nokia yang fungsinya cuma bisa nelpon dan SMS. Saat itulah, Bokap jadi sering memutar lagu Super Junior. Gue merasa durhaka.
Dari Super Junior gue beralih mendengar lagu Neymar Junior, eh maksudnya ke SNSD. Sebelum kita membicarakan SNSD, gue mau member tahu sebuah fakta bahwa SNSD itu sebenarnya berasal dari Indonesia. Dan mereka sangat perhatian terhadap pendidikan negara sampai-sampai mereka mendirikan sekolah yang hingga saat ini masih aktif, yaitu Sekolah Negeri Sekolah Dasar atau SNSD.
By the way, kembali ke topik. Gue pribadi juga suka lagu SNSD. Gue sudah lupa judul-judul lagunya, tetapi gue masih ingat gue hobi banget dengar lagu SNSD. Gue waktu itu ngefans dengan Yuri dan Yoona. Gue sebenarnya ngefans dengan Taeyeon juga. Cuma masalahnya gue sering salah sebut namanya sehingga menjadi Taiyeon jadi kesannya gue ngatain dia dan bisa-bisa gue melukai hatinya. Maka dari itu, gue berhenti ngefans dengannya soalnya dulu ketika gue suka mendengar lagunya SNSD, gue suka bersorak-sorak di TV kalau lagi ada SNSD tampil. “Yuriiii, Yoonaaaaa.” Kalau gue sorak-sorakin nama Taeyeon kan nanti jadinya gini, “Taiiiii, taiiii” jadinya gue terlihat sebagai fans yang buruk bagi dia. Makanya dari itu gue berhenti ngefans dari waktu itu. Maaf Taiyeon, eh kan salah sebut lagi.
Tidak hanya K-Pop saja, tetapi juga dramanya. Gue sama Nyokap adalah seorang penonton serial Drama Korea yang waktu itu sering-seringnya muncul di Indosiar. Waktu itu, gue suka-sukanya nonton drama Korea berjudul Dong Yi (gue baru search di Google soalnya sudah lupa). Setiap hari, jam 12 siang gue selalu menunggu Drama korea ini tayang di Indosiar. Entah kenapa Drama Korea ini seperti sebuah tontonan yang membuat gue candu. Karena bukan hanya cerita yang menarik, tetapi gue juga lagi benci-bencinya dengan pemeran selir ke-2 di Drama Korea tersebut. Gila, gue masih bocah nonton begituan bisa benci sama pemeran antagonisnya. Pada saat gue nonto, gue seperti, “Cepetan matiiiii lo” atau “Raja bego, itu istri ke-2 lo jahat banget, masa lo gak peka-peka sih.” Kira-kira seperti itu dalam hati gue saat menonton drama nya.
Gue juga lupa-lupa sedikit, tetapi seingat gue pernah menonton Drama Korea berjudul Queen Seon Duk (gue baru lihat picture nya di Google dan baru ingat ada nonton). Gue pernah nonton Drama Korea berjudul Pasta. Di Indosiar, Drama Korea ini baru tayang seusai drama Korea Dong Yi kelar, gue masih ingat betul jam tayangnya itu jam 14.00 siang. Gila, sebegitu candunya gue dengan Drama Korea gue masih ingat. Ternyata seru juga ya nonton Drama Korea. Kita bisa berkomunikasi dengan layar secara langsung tanpa si pemeran berkata “Ini si kampret ribut amat dari tadi.”
Makanya tidak heran, sampai sekarang gue masih begitu familiar dengan K-Pop atau Drama Korea. Bukan berarti gue banci gara-gara nonton dan senang bisa ikut hal begituan, tetapi menurut gue tidak seharusnya K-Pop ataupun Drakor (Drama Korea) dijadikan sebagai unsur pembanding seperti “Ah, dia dengar K-Pop, banci pasti orangnya” atau “Lo suka drakor ya, cemen banget sih.”
Ketika kamu menyukai lagu barat, orang juga bisa membuat sebuah unsur pembanding juga. Seperti “Eh, lo suka dengar lagu Metalica ya? Gay banget sih” atau “lo suka dengar lagunya Selena Gomez ya? Ih, banci banget sih.” Jadi, kita sama-sama setarakan. Menurut gue, malah bagus kalau kita suka dengan K-Pop dan drakor nya. Karena selain menyenangkan, juga bisa memberi manfaat. Kamu bisa tahu tentang budaya orang Korea seperti apa. Kamu juga bisa tahu tentang bahasa-bahasa mereka. Sekarang saja, sudah banyak orang-orang yang mempraktikkan bahasa-bahasa Korea sehari-sehari, seperti sayonara atau arigatou, eh itu Jepang kali ya. Maksud gue, seperti annyeong, monyong, kamsahamnida, atau ani (Ani itu bahasa Korea yang artinya tidak/bukan). 
Sekian bedah-bedahnya. Kalau kurang puas, silahkan kunjungi Rumah Sakit Umum terdekat. 

Friday, December 22, 2017

Pain

Namaku Rahayu. Aku mahasiswi fakultas kedokteran di sebuah Universitas elite di Jakarta. Keseharian ku hanya menatap tesis penelitian dan tugas kuliah yang tak kunjung siap. Tiap hari aku hanya bisa mengejar dosen untuk memintanya menerima laporan penelitianku. Aku seperti mengemis cinta darinya hanya untuk mendapat arti bahagia darinya. Terdengar konyol.

Aku tidak pernah merasakan arti cinta dalam hidupku. Pernah suatu ketika, temanku bernama Helena bertanya tentang hal ini. “Apakah selama kamu begitu sibuk dengan teori anatomi ini, kamu tidak pernah merasakan cinta yang sejati yang datang padamu?” Sejujurnya, aku bingung kenapa cinta itu harus begitu dipikirkan.

Malam hari, rembulan menerangi gelap nya langit. Aku duduk merenung di rumah, menonton sebuah serial drama cinta antara seorang laki-laki dan perempuan. Ceritanya, perempuan ini adalah seorang dokter dan laki-laki ini adalah seorang pegawai biasa. Laki-laki itu tidak memiliki gaji tetap dan berkehidupan seperti orang biasa yang sama sekali tidak dapat hidup bermewah-mewahan. Sedangkan perempuan tersebut adalah sebuah dokter spesialis terkenal yang suka menolong orang lain. Mereka bertemu dan saling merangkul hingga membuat derajat laki-laki itu naik menjadi seorang pengusaha. Namun, laki-laki tersebut tidak mencintainya. Ia hanya menganggap bantuan dari perempuan tersebut  adalah berkah yang ia dapat.

Tanpa ia sadari, perempuan tersebut adalah berkah untuk dirinya yang sebenarnya. Perempuan itu menangis sampai-sampai nafas pun tak dapat dihirup. Dada terasa sesak dan punggung terasa berat menerima kenyataan pahit.

Sesaat aku menonton serial drama itu, aku berpikir cinta juga bisa mendapat rasa sakit yang mendalam. Semua orang berpikir bahwa cinta adalah kasih untuk bahagia bersama, tetapi cinta bisa menyakiti seseorang yang tanpa kita sadari kita tidak memberi kasih yang bahagia untuknya. Mungkin opiniku begitu karena itu hanya serial drama saja.

Embun pagi menerpa ruangan hingga diriku menggigil. Ayam berkokok menandakan saat nya aku kembali ke kampus. Aku berteman dengan Helena, teman dekatku yang waktu itu bertanya kepadaku tentang cinta. Aku menghampirinya dan menarik dirinya menuju teras dekat fakultas bisnis. Aku pun menyampaikan satu hal. “Aku semalam baru saja menonton serial drama itu”.

“Terus, gimana kamu sedih?” tanya Helena, penasaran.

“Emm, aku bingung kenapa awalnya cinta itu memberi rasa bahagia tetapi berujung pada cinta memberi kenyataan pahit dan rasa sakit?” tanya diriku, bingung.

Helena berpikir tak tahu-menahu. Ia mengambil sebuah buku sistem saraf, membuka satu lembar halaman, dan melipat beberapa bagian kertas. Lalu ia menulis sebuah kalimat “Bukalah ketika kamu menemukan cintamu.” Ia lalu memberikan buku itu padaku tanpa ada sebab mengapa ia memberikannya padaku. 

“Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu memberikan buku sistem saraf? Kita sudah akan mulai sidang skripsi” kataku, bingung.

Helena hanya tersenyum lalu ia pergi. “Dah, aku pergi dulu ada urusan.” Ia melambaikan tangan seolah-olah ada sesuatu yang akan segera datang kepadaku. Aku berdiam diri dan masih merenung di dekat fakultas bisnis. Aku berusaha licik dengan membuka dibalik lipatan kertas itu. Namun aku merasa ini akan seru ketika suatu hari nanti aku akan membukanya. Aku mengurungkan niatku membukanya dan menutup mataku tanpa berpikir apapun.

Udara yang segar dan angin yang datang begitu santai membuat pagi hari ini begitu sejuk. Angin itu membuat aku menjadi tidak berpikir apapun dan tidak menyadari apapun. Pikiranku kosong dan semakin kosong.

Saat aku membuka mata dan mengarahkan hadapanku ke langit, tiba-tiba timbul wajah lelaki yang menatap diriku dengan kebingungan. Seketika aku terkejut dan melempar buku sistem saraf Helena tadi mengenai wajahnya. Ia terjatuh dan pingsan. Aku panik.

Aku membuat laki-laki itu tidak berdaya dengan sekali lemparan buku sistem genetika. Luar biasa. Aku berusaha berteriak minta tolong, namun waktu itu suasana sangat sepi. Seketika diriku menyerah, aku hanya menggunakan tenaga wanitaku saja.

Aku merangkul menuju fakultas kedokteran dan segera membawanya menuju ruang kesehatan. Di sana aku membiarkannya terbaring dan merawatnya hingga ia sadar. Aku mengambil minyak kayu putih yang selalu kubawa lalu aku memberi sedikit tetesan minyak tersebut ke sela-sela hidung agar ia bisa menghirup dengan segar. Beberapa jam kemudian, ia kembali sadarkan diri.

“Dimana aku?” tanya laki-laki itu, panik.

“Kamu tadi pingsan setelah aku melemparkan bukuku ke hadapan wajahmu. Aku merangkul mu ke sini dan merawatmu hingga sadar” kataku, berusaha menjelaskan.

“Oh kamu, dasar. Sebaiknya kamu tidak datang ke area fakultas bisnis” kata dia, menegur.

“Iya maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi” jawab diriku, minta maaf. “Namamu siapa?” tanyaku kembali.

“Billy. Bill saja” jawab dia sambil menggaruk kepala.

“Rahayu. Ayu saja.” jawabku, membalas.

Kamu saling menatap, lalu membalikkan kepala lagi seolah-olah merasa malu. Itulah pertama kalinya aku malu ketika ada seorang laki-laki yang menatap diriku. Ada perasaan lain yang tidak ku mengerti.

Kami keluar dari ruangan dan pergi menjauh. Ketika itu, aku ada kelas dan beranjak menuju ruangan. Aku merenung dan memikirkan kejadian aneh tersebut. Apa yang membuatku berpikir aku memiliki perasaan lain yang ku tak tahu.

Helena menepuk ku dan melambai-lambaikan tangan ke wajahku seolah memintaku untuk segera sadar. Aku fokus kembali dan terkejut. Helena menertawakan ku dan berpikir aku sudah gila.

“Mungkin kamu butuh istirahat, yu” kata Helena, menyarankan.

“Aku gak gila lah” kataku, kesal.

Malamnya, aku dirumah berbaring sebentar. Mengambil ponsel ku dan menyalakannya. Membuka pesan messenger yang masuk dan membalasnya satu-persatu. Tiba-tiba di dalam pikirkan teringat wajah Bill kembali. Aku merasa diriku aneh dan berusaha mencari tahu. Aku penasaran kenapa Bill bisa membuat diriku penasaran dengan nya.

Aku berusaha mencari contact messenger nya, namun tidak berhasil. Aku membuka halaman Facebook ku dan mencari nama Bill, namun tidak berhasil. Dari sekian nama Bill tidak ada yang sesuai dengan wajah Bill. Lalu, aku menemukan sebuah nama yang sangat familiar, yaitu Billy Ananta Kusuma. Aku membuka profile nya membaca tentang dirinya. Ia lahir di Jakarta tanggal 16 Maret, mahasiswa Fakultas Bisnis dan jurusan bisnis internasional. Ia memiliki keluarga kaya dan sederhana. Makanan kesukaannya adalah salad dan minuman kesukaannya adalah fanta.

Aku langsung menemukan contact messenger nya lalu aku mulai mengobrol dengannya dengan kata “Hai”. Saat itulah, aku pertama kali mengajak mengobrol dengan cowok misteri yang menurutku dapat menaruh perasaan yang tak ku mengerti. Semakin hari diriku tergila-gila dengan kejadian di area fakultas bisnis itu. Apa ini yang dinamakan cinta?

Setengah hari aku menunggu hingga larut malam, obrolan ku tak kunjung di balas. Aku merasa dingin dan membiarkan nya saja. Ketika itu menutup ponselku dan kembali tidur. Tiba-tiba bunyi ponselku berdering. Aku segera bangun dan membuka ponselku, seperti baru saja mendapat sebuah hadiah mobil.

Aku mengobrol dengannya hingga subuh tiba. Obrolan kami tampak biasa-biasa saja. Tak ada yang seru dan istimewa. Isinya seperti ini.

Messenger Me: Haii
Messenger Bill: Yoo
Messenger Me: Kok belum tidur?
Messenger Bill: Iya, belum ngantuk
Messenger Me: Aku gak bisa tidur
Messenger Bill: Aku bisa, bye

Singkatnya obrolan itu membuat ku berpikir, mungkin ini hanya permulaan, apalagi kita baru saja saling kenal. Keesokan harinya, aku sengaja datang ke area fakultas bisnis, berharap bisa bertemu dengannya tanpa sengaja. Aku sengaja makan di kantin fakultas bisnis agar bisa bertemu dengannya. Meskipun di sana hanya aku yang datang diam-diam dari fakultas kedokteran.

Seketika, aku melihat Bill bersama teman-temannya. Ia mengobrol sambil memesan makanan. Aku pun ingin bertemu dengannya, namun malu tidak tahu harus bagaimana. Akhirnya aku mendapat ide. Aku pura-pura berjalan ke arah sana dan berpura-pura bertemu dengannya secara tidak sengaja.

Aku berjalan dengan rasa berani dan takut serta malu. Melewati ratusan mahasiswa FIB hanya untuk menemui Bill. Namun, saat aku sampai di tempatnya, Bill bersama teman-temannya beranjak pergi. Aku merasa malu seperti orang yang salah tingkah.

Ketika itu, aku keluar dari area FIB dan pergi. Namun, secara tidak sengaja aku bertemu dengan Bill yang sedang sendirian tanpa ditemani teman-temannya. Aku pun memasang wajah senyum dan berusaha akrab-akraban dengannya. Namun ia hanya menyapaku dengan kata “Haii” sambil memasang wajah datar. Aku terdiam.

Sesampai dirumah, aku mampir ke kos Helena. Aku menceritakan semua ini kepada Helena dan reaksi Helena malah tertawa terbahak-bahak. Ia mengatakan kalau yang kulakukan belum terlalu kuat untuk bisa mencari arti cintaku. Helena menganjurkan diriku untuk lebih serius memperlihatkan diriku pada Bill bahwa aku mempunyai rasa padanya dengan sifat memaksa.

Aku melihat kalender ponselku dan besok adalah tanggal 16 bulan Maret. Itu berarti, besok adalah hari ulang tahun Bill. Helena mengiyakan, karena ia diundang secara langsung oleh Bill sendiri. Aku terkejut.

“Ka..ka..kamu kenal Bill?” tanyaku, kaget.

“Tentu saja, Bill itu teman SMA ku” jawab Helena, mengiyakan.

Saat itu aku merasa berat dalam menghadapi cobaan yang sedang kulalui. Aku berpikir kenapa aku tidak meminta bantuan Helena dari hari itu? Helena pun berniat membantuku. Ia memintaku berdandan dengan cantik agar bisa menarik perhatian Bill nanti.

“Tapi kan aku gak di undang sama dia?” tanya diriku, bingung.

“Udah, ikuti saja kata-kataku” jawab Helena, seolah-olah merencanakan sesuatu.

Esok malamnya, aku berdandan. Aku memakai dress berwarna putih dan high heels yang sudah lama tidak kupakai. Aku sampai meminjam lipstik milik ibuku dan parfumnya. Malamnya, aku di jemput Helena. Sesaat perjalanan, aku gelisah dan hatiku tidak tenang. Aku tidak diundang oleh Bill namun aku datang dengan alasan aku menyukainya.

Saat sampai di kediamannya, turun dari mobil dan Helena langsung meninggalkan ku. Ia pergi memarkirkan mobilnya dan bertemu dengan teman-temannya yang lain. Aku berjalan sendiri seperti orang asing. Banyak yang melihatku dan aku merasa sangat malu.

Bill yang tengah mengobrol dengan teman-temannya secara tidak sengaja melihatku. Ia lalu menghampiriku dan memanggilku.

“Sedang apa kamu disini? Aku tidak mengundangmu” tanya Bill, bingung.

“Yah gak kenapa-napa. Emang gak boleh?” jawabku, percaya diri.

Bill bingung atas tingkah yang dilakukan oleh diriku selama ini. Bill curiga dengan tindakanku yang selalu saja berusaha mendekati nya. Pada saat itulah, Bill mulai tidak peduli padaku. Ia bahkan tidak melihatku dan lebih mengobrol dengan perempuan lain. Yang secara penampilan, perempuan itu lebih cantik dariku. Ia bahkan menari bersama dengan perempuan itu dan memeluk perempuan itu. Seketika aku melihatnya, diriku merasa hancur, sangat hancur.

Aku menangis di luar tanpa siapapun yang tahu. Helena mencari ku lalu ia melihatku menangis tersedu-sedu di luar. Ia memelukku dan merangkulku sambil berkata “Ayo, kita pulang.” Sesampai dirumah, Helena tidak memberitahu kedua orang tua ku terkait kejadian di pesta tersebut. Helena lebih menutup mulut dan membiarkan diriku untuk bisa kembali menghirup nafas segar dan berharap aku melupakan itu.

Aku masih sedih dan terus memikirkan kejadian yang menyakitkan itu. Aku tidak sanggup melihat kejadian itu dan berpikir sebegitu kejamnya Bill melakukan hal itu dihadapkan sendiri. Dia pasti tahu aku menyukainya tapi ia tidak menyukaiku. Saat itu, di malam yang begitu gelap dan suhu yang dingin, aku memutar kembali sebuah serial drama yang pernah kutonton. Aku menonton hingga habis. Perasaan ku bercampur aduk antara melihat adegan drama itu dengan kejadian menyakitkan yang kualami malam ini. Malam ini menjadi malam yang panjang untuk bisa melupakan itu semua. Aku beranjak menuju meja belajarku dan melihat sebuah janjiku dengan Helena. Janjinya adalah kita akan lulus bersama dan wisuda bersama. Aku mengusap air mata yang perlahan-lahan mengering di pipiku. Membuka buku pelajaran dan mulai belajar. Mulai fokus mengerjakan skripsi tanpa memikirkan tentang Bill lagi. Aku bahkan menghapus obrolan singkat ku dengan Bill. Malam itu menjadi malam yang panjang. Malam yang pedih dan malam untuk memulai kembali.

Waktu berlalu, aku akhirnya resmi di yudisium dan di wisuda. Sesaat aku memakai topi toga, pikiranku jauh dari wajah Bill. Aku melihat wajah ayah dan ibuku yang bahagia dan menangis melihat diriku. Tangisan itu mirip tangisan diriku yang menangisi kejadian pahitku.

3 tahun kemudian, aku resmi menjadi dokter spesialis saraf. Ayah dan ibuku berniat mencarikan jodoh untukku dan akhirnya ketemu. Pemuda itu bernama Nicky, seorang pengusaha dan direktur utama di sebuah perusahaan komputer terkenal. Aku menikah dengannya dan resmi menjadi istrinya.

Setelah aku menjadi istri seorang pengusaha, aku mulai membiasakan diri mengikut arus bisnis. Aku mulai masuk ke dalam kantor perusahaan suamiku dan menyapa karyawan-karyawan yang bekerja. Aku mengambil sebuah gelas dan pergi mengisi air untuk minum.

Saat aku menuangkan air dari dispenser, ada satu pemuda yang sedang mengantri di belakangku.

“Bu, bisa lebih cepat?” tanya pemuda asing itu, buru-buru.

“Iya, ini sudah mau siap kok” jawab diriku, sambil mengangkat gelas.

Saat aku mendengar suaranya, suara tersebut seperti suara yang pernah ku dengar. Aku membalikkan hadapanku dan melihat wajahnya. Dan ternyata dia adalah Billy Ananta Kusuma atau Bill. Aku terkejut.

“Bi...bi... Bill?”

“Ayu ya?” tanya Bill, merasa mengenal.

Aku segera pergi menjauhinya dan ingin pergi. Aku sudah melupakannya dan move begitu lama, apalagi sudah memiliki suami. Namun, secara tiba-tiba Bill menarik genggamanku.

“Tunggu, dengarkan penjelasanku dulu. Aku ingin bicara” kata Bill, berusaha menghentikan ku.

Aku berusaha melepas tangannya Bill dan segera pergi. Saat itu, aku meminta suamiku untuk mengantar diriku untuk pulang ke rumah dan tidak ingin ke kantor lagi. Aku kembali ke Rumah Sakit dan bekerja sebagai dokter spesialis.

Saat itu, aku mendengar kisah Bill yang bertingkah seperti itu padaku oleh Helena. Helena mengatakan bahwa ia diputusin oleh perempuan yang pernah ia peluk di pesta itu. Ia pun stress dan depresi. Hingga saat ia lulus kuliah, ia hanya bisa menjadi pegawai tetap dengan gaji kecil. Bill stress dan memilih menjadi pengangguran. Ia bertemu dengan suamiku dan meminta suamiku untuk mempekerjakannya di perusahaannya dia. Ia akhirnya resmi bekerja di perusahaan komputer besar itu.

Helena mengatakan bahwa, Bill mendapat tekanan dan terus bertanya-tanya tentang diriku.

“Gimana kabar Ayu sekarang?” kata Helena sambil menirukan gaya bicara Bill. Helena mengatakan bahwa Bill baru sadar bahwa selama ini diriku terus memperhatikannya. Namun Bill melakukan sebuah kesalahan besar hingga akhirnya ia menyia-nyiakan harapan besar itu. Helena berkata bahwa ia memberikan buku sistem saraf yang pernah ia berikan kepadaku itu kepada Bill pada saat acara ulang tahunnya waktu itu. Bill secara sengaja membuka buku itu dan menemukan sebuah kertas lipatan yang pernah di lipat oleh Helena dengan tulisan “Bukalah ketika kamu menemukan cintamu.” 

Ketika Bill membuka lipatan tersebut, ia menemukan sebuah tulisan dibalik lipatan tersebut. Tulisan itu berisi sebuah kalimat yang berasal dari teori isi buku itu dan menjadi kalimat yang memperlihatkan masa laluku dan masa yang di alami oleh Bill saat ini. Kalimat tersebut adalah “rasa sakit.

Thursday, December 21, 2017

Keponakan

Keponakan
Malam-malam, gue rada-rada gak punya kerjaan. Terpikirkan sebuah kerjaan yang sudah gue biarin begitu lama. Akhirnya gue nulis, tetapi tidak tahu mau nulis apa. Akhirnya kepikiran kejadian saat gue di Pasuruan dan gue pun menulis ceritanya meskipun teramat begitu singkat.

Beberapa bulan yang lalu, saudara gue mengajak pergi barengan dengan anak dan istrinya pergi ke Pasuruan. Waktu itu gue baru saja pulang dari mall pada saat jam 10 malam. Sesampai dirumah, gue pun berangkat. Gue mikir, tengah malam gini ngapain juga ke Pasuruan. Menuju Pasuruan menempuh waktu sekitar 1 jam. Waktu itu sudah malam dan tidak macet jadi jalanan sangat lancar.

Dalam perjalanan, gue duduk bersebelahan dengan keponakan gue. Namanya dan satu lagi namanya Ronald dan rata-rata masih bocah. Dodo baru menginjak kelas 3 dan Ronald baru kelas satu. Jadi gue harap di usia yang masih sangat muda, mereka bisa di didik dengan moral yang baik. Jangan update status alay di Facebook.

Gue pun mencoba berkomunikasi dengan keponakan gue. Yah, seperti yang kalian tahu, mengadakan sesi Q&A dengan anak SD itu seperti menginterograsi anak-anak yang baru ngelem.

“Dodo, sekarang kelas berapa?” Tanya gue, pura-pura penasaran.

“Kelas 3 bego, itu aja masih di tanya” jawab Dodo, bercanda.

Lalu gue bertanya dengan Ronald yang masih begitu polos.

“Kalau Ronald sekarang kelas berapa?” Tanya gue, pura-pura penasaran lagi.

“Kelas 1 lah, masa Kelas B. Ihhh, jadi paman kok bego banget sih” jawab Ronald, bercanda.

Dialog di atas merupakan ciri-ciri keponakan yang tidak tahu diri. By the way, semua itu hanya 
karangan gue saja.

Gue pun terus menerus melakukan percakapan dengan mereka. Beberapa pertanyaan pun muncul dari mereka tentang gue.

“Paman, paman sudah punya pacar belum?” Tanya Dodo penasaran. Ketika gue ditanya soal begituan, dalam hati gue menangis.

“Belum, hahahaha” jawab gue sambil tertawa garing.

“Dasar Jomblo” kata Dodo dalam hati.

Saat perjalanan menuju Pasuruan, kami berhenti di sebuah rest area untuk mengisi angin ban mobil. Keponakan gue ngeyel minta untuk turun karena kebelet pipis. Akhirnya gue menemaninya. Sesaat di toilet, keponakan gue meminta gue untuk membantu membukakan celananya agar ia bisa segera pipis.

“Paman, bukain celana ku dong” kata Dodo. Ajakan itu terlihat seperti ajakan para kaum lelaki yang berjakun alias waria. Gue buka dan membiarkan dirinya pipis. Setelah selesai pipis, tiba-tiba si Dodo ngeyel lagi. “Paman, aku pengen berak.” Terus gue mau jawab “Yauda, sini paman tampung eeknya.” Setelah berak selesai, Dodo ngeyel kembali. “Paman, aku mau cebok.” Terus gue jawab “Yauda, sini paman garukin pantatnya.”

Setelah selesai, akhirnya kita melanjutkan perjalanan menuju Pasuruan. Selama perjalanan, gue hanya mengeluarkan handphone gue dan browsing untuk menghilangkan rasa bosan gue. Sedangkan keponakan gue sibuk dengan lagu baby shark nya. Dodo pun menghampiri gue.

“Wah, handphone paman sama yah kayak handphonenya papa.” Kata Dodo, memuji.

‘Gak ah, mana sama. Handphone paman lebih mahal dari handphone papamu.” Kata gue berusaha pamer tetapi tidak berkelas.

Handphone gue harganya 2 jutaan dan handphone saudara gue harganya 7 jutaan. Ini pertama kalinya gue bisa pamer di hadapan anak kecil. Meskipun tak berkelas, setidaknya bisa pamer. Setelah itu muncul teriakan, “Ihhh, paman miskin!”. Yah, terima kasih atas pujian menyakitkannya.

Sesampai di Pasuruan, gue kedinginan. Gue akhirnya mengeluarkan sweater yang gue bawa dari rumah. Lalu, saudara gue mengatain gue.

“Ngapain kamu pake sweater? Anak-anak aja gak pada pake. Jangan kalah sama anak kecil” kata saudara gue, mengejek.

Lalu keponakan gue memprovokasi.

“Ihhh, paman banci.”

“Ihh, paman cupu.”

Gue berpikir, nih anak di ajari sopan santun sama gurunya di sekolah gak sih? Akhirnya gue lepas sweater dan membiarkan diri gue menggigil. Sesampai disana, kami hanya menyantap kuliner-kuliner yang ada. Gue makan sate dan martabak. Sangat kurang kerjaan pergi ke tempat yang sangat jauh hanya untuk makan. Dan lebih kurang kerjaan lagi berangkatnya tengah malam.

Saat gue lagi makan, tiba-tiba Dodo memukul pundak gue.

“Paman, bagi hotspot dong.” kata Dodo, memohon.

Akhirnya gue buka hotspot gue dan membiarkan dirinya bermain. Tiba-tiba Dodo ngeyel.

“Kok gak bisa jalan internetnya?” Tanya Dodo, kebingungan.

Gue membuka handphone gue dan tiba-tiba muncul tulisan ‘Pelanggan yang terhormat, sisa kuota anda tinggal 0 KB, di harapkan melakukan pengisian ulang untuk bisa mengakses internet.’ Kebetulan Dodo membacanya lalu dia ngatain gue, “Dasar miskin.”

Seusai makan, kami kembali pulang. Perjalanan pulang di akhiri dengan tubuh yang lelah hingga akhirnya semua tertidur di mobil, kecuali saudara gue yang menyetir karena kalau dia tidur juga, yah inaillahi. Gue sampai di rumah pada waktu menujukkan pukul 1.30. Dengan lelah, gue berjalan menuju pintu rumah layaknya orang yang barusan mabuk alcohol. Ketika gue membuka pintu dan masuk, gue teringat masa kecil gue. Nostalgia yang panjang membuat diri gue teringat bahwa dulu gue sama seperti 2 keponakan gue sekarang.

Gue harap setelah dewasa, gue bisa ngatain mereka kembali. Tapi kayaknya aneh juga tua-tua ngatain anak alay.

Cerita di atas hanya gue tulis karena terlintas dalam isi kepala gue. Sedikit ngawur namun semoga menghibur.


Thursday, November 16, 2017

Bisa Bahasa Medan Kan?

Terakhir kali gue ke Surabaya ketika gue akan berkuliah disana. Agak bingung juga karena mayoritas penduduk di Surabaya bisa berbahasa Jawa. Ini menjadi tantangan berat untuk gue karena gue sendiri pun tidak paham dengan bahasa mereka. Meskipun lingkungan rumah gue kebanyakan orang Jawa, gue masih bisa mentolelir bahasa Jawa di lingkungan rumah gue. Tetapi setiba di Surabaya sendiri, bahasa Jawa yang gue dengar ternyata tidak sesuai perkiraan gue. Seakan-akan gue perlu sekolah bahasa Jawa setahun untuk bisa berkomunikasi di Surabaya. Seperti masuk perguruan tinggi di luar negeri yang dianjurkan untuk sekolah bahasa negara mereka selama 1 tahun.

Karena gue gak tahu apapun dengan bahasa mereka, maka dari itu gue membuat sebuah strategi agar tidak ada seorang pun di Surabaya yang berbicara dengan gue memakai bahasa Jawa, yaitu ngaku kalau gue berasal dari Medan.

Suatu hari, gue naik taxi dari kampus menuju rumah gue. Saat masuk kedalam mobil, sesi Q&A dengan supirnya pun dimulai. Supirnya mengobrol dengan gue memakai bahasa Jawa. Hati gue mulai gelisah. Karena gue adalah orang yang menghargai seseorang yang berkomunikasi dengan gue meskipun agak nyebelin, maka dari itu gue tetap harus menyahut apa yang dikatakan oleh supir tersebut meskipun sebenarnya gue gak ngerti apa yang ia katakan. Yang gue lakukan hanya mengatakan “Iya” saja. Kadang gue juga mengatakan “Ooo” atau “Hah?” atau bahkan pura-pura tidak dengar. Supir taxi itupun menyadari kalau gue bukan orang Surabaya dan tidak mengerti bahasa Jawa, Maka ia mulai berbicara bahasa Indonesia dengan normal dengan gue. Dalam hati gue berkata “Nah, gitu dong. Dari tadi bukannya gini aja, yaelah elu.”

“Mas asalnya dari mana?” Tanya supir taxi, penasaran.

“Saya asalnya dari Medan?” kata gue sambil tersenyum.

“Oh dari Medan…. bisa bahasa Medan dong berarti” Tanya supir tersebut. Gue kesel kembali.

Dalam konteks pertanyaan supir tersebut mengatakan bahwa Bahasa Medan = Bahasa Batak, yang artinya supir tersebut mengira kalau gue bisa bahasa Batak. Oke, gue jelasin deh. Pertama, gue bukan orang Batak, kedua gue gak bisa bahasa Batak, ketiga gue gak pernah belajar bahasa Batak, dan keempat, LO KIRA SEMUA ORANG MEDAN BISA BAHASA BATAK!!!?.

Karena kesel, akhirnya gue menjelaskan secara pelan-pelan mengenai pertanyaan yang diajukan supir tersebut. Karena sebenarnya, sejarah penduduk di Medan aslinya adalah suku Melayu dan penguasa kota Medan yaitu Sultan Deli adalah orang Melayu. Suku Batak dan suku lainnya di Sumatera Utara yang datang ke Medan dulu adalah suku pendatang karena suku Batak aslinya berasal dari Pulau Samosir yang tepatnya berada di Danau Toba (Pulau Samosir berada di tengah Danau Toba). 

Gue tidak tahu apa yang terjadi hingga akhirnya banyak suku batak yang akhirnya menjadi suku mayoritas di Medan. Tetapi setahu gue, bukan hanya suku Batak saja yang banyak di Kota Medan. Ada juga suku Karo, Nias, Melayu, Jawa,  Tionghoa, dan suku lainnya. Tapi aneh juga gue yang dilihat dari wajah dan mata gue yang sipit, sudah pasti gue adalah keturunan Tionghoa. Tetapi gue malah dicap sebagai orang Batak. 

Mungkin yang supir taxi itu maksud bahasa Medan itu seperti, “anj*nggg kau”, “kupijak nanti kau baru tau rasa”, atau “gak usah banyak cincong kau kim*k.” Namun, gue mengurungkan mengatakan itu karena gue takut diberhentikan di pinggir jalan oleh supirnya. Kalau gue beneran berkata begitu, mungkin supir taxi itu akan mengatakan hal ini dalam hatinya, “sejauh ini masih saya pantau, entar juga saya sleding kepala nih bocah.” 


Sunday, August 20, 2017

Anak Rantau



Akhir-akhir ini, gue jadi jarang buat nulis blog karena gue baru saja pindah dari Medan ke Surabaya untuk kuliah. Orang tua tetap di Medan, yang intinya gue merantau. Sewaktu SMA, gue bisa menulis blog karena di rumah memiliki laptop dan bisa menulis kapan saja dan dimana saja. Sekarang hanya untuk menulis blog saja gue mesti meminjam laptop orang dan turun ke lantai paling bawah untuk mencari internet. Tidak hanya menulis blog, tetapi juga membuat tugas kuliah.

Awal gue datang Surabaya sebenarnya ada perasaan canggung dan gelisah. Itu wajar karena akan berjuang mati-matian buat kuliah di kota orang. Apalagi gue datang dari tempat yang  jauh. Gue sudah pernah datang ke kota ini sekitar 3 kali. Terakhir kali gue berkunjung pada bulan desember tahun lalu. Gue harus berjuang untuk bisa beradaptasi dengan sekitar. Meskipun gue memang tinggal bersama saudara, tetapi tidak memberikan gue peluang untuk hidup enak disini. Gue harus pergi ke tempat lain agar bisa mencuci baju (hanya bisa mendapat kesempatan satu minggu sekali untuk mencuci), menjemur baju, mencari makan sendiri, uang jajan dihematin, tiap hari harus bantu jualan, membersihkan kamar sendiri, dan sebagainya. Jadi bersyukurlah yang masih bisa tinggal bersama orangtua ketika kuliah.

Gue diterima di kampus swasta katolik bernama Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Gue bertemu banyak teman-teman yang hamper 90% adalah keturunan Jawa asli. Ada juga yang berasal dari Ambon, Bali, Solo, Bekasi, Palu, dan sebagainya. Yah, agak sulit menemukan mahasiswa keturunan Tionghoa di kampus.

Dari segi komunikasi, gue juga mesti terbiasa dengan bahasa daerah mereka. Karena bahasa keseharian mereka adalah bahasa Jawa yang tidak gue mengerti sama sekali. Apalagi ketika banyak yang mengira gue adalah orang Jawa dan mereka berbicara bahasa Jawa pad ague. Gue cuma bisa senyum dan mengiyakan apa yang mereka bicarakan. Selama itu akan menumbuhkan keakraban aja.

Di Surabaya, gue juga harus pintar-pintar mengatur keuangan. Karena tidak ada yang bisa mengantar ke kampus, gue harus membayar ongkos Grab setiap pergi dan pulang dari kampus dan itu setiap hari. Biaya saat  ini dari rumah menuju kampus adalah 12 ribu (tidak terrmasuk promo). Belum lagi kalau tarifnya naik atau pergi ke tempat lain. Dalam satu hari gue sudah menghabiskan 24 ribu yang belum termasuk uang makan gue di kampus.

Selama gue di kota Surabaya, gue juga mengamati infrastruktur dan arus lalu lintas kota yang pastinya lebih unggul dari kota asal gue, Medan. Disini, semua orang bisa dengan bebas berjalan kaki di trotoar dan bisa menyebrang jalan dengan mengaktifkan lampu lalu lintas sendiri. Yah, karena di setiap zebra cross kota terdapat lampu lalu lintas yang bisa diaktifkan agar mudah untuk menyebrang jalan. Penduduknya juga ramah-tamah dan teratur. Gue juga sedang mencari jati diri gue  serta apa yang akan gue perbuat selanjutnya ketika gue lulus nanti, padahal gue baru saja mulai kuliah semester 1.Untuk pulang kembali ke Medan saja butuh waktu sekitar 2 semester berakhir. Di sela-sela waktu juga, gue berusaha mencari uang sendiri dengan membuat sebuah toko online bernama Kids Java yang menjual mainan (sekalian promosi).

Yah, begitulah cerita gue selama berada di Surabaya ini. Mumpung gue memiliki waktu terbatas untuk menulis dan akhirnya gue pakai. Dan mungkin keesokan harinya dan seterusnya gue gak bakal bisa menulis lagi karena waktu terus mulai sibuk, tidak seperti masa SMA dulu yang bisa rileks dan bebas. Gue gak bisa menulis panjang lebar tentang kehidupan gue disini karena waktu nulis juga terbatas, tetapi pastinya hidup yang gak enak itu akan selalu ada. Kangen Medan? Yah tentu saja kangen dan ingin pulang secepatnya. Karena itulah gue ingin belajar keras disini agar bisa mendapat cuti kuliah (kalau dapat) dan bisa pulang. Ketika gue pulang, gue bisa menceritakan kisah hidup gue disini pada teman-teman gue nanti. Semangat meraih cita-cita untuk para anak rantau.

Wednesday, August 31, 2016

Bahasa Mandarin

Gue terlahir dari sebuah keluarga yang amat mendalami budaya China. Dimulai dari Pakcik sampai Paman gue mereka mempunyai keahlian berbahasa mandarin dengan baik, bahkan sampai anak-anaknya sekarang. Anak-anak mereka yang termasuk saudara gue juga kebanyakan kuliah di China dibandingkan Indonesia. Gue sendiri terlahir di keluarga tersebut merasa mendapat daya saing yang amat tinggi. Apalagi bahasa Inggris gue yang masih amat amatiran, apalagi juga dengan bahasa mandarin yang gue tahu cuma Wo Yao Xiao Pien (Saya mau pipis).

Gue teringat satu kejadian yang membuat gue harus berusaha berkomunikasi dengan orang China asli. Sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu, saudara gue menikah dengan seorang perempuan asal China. Mereka mengadakan resepsi di China dan menjalankan pernikahannya di Indonesia. Keluarga dari pihak perempuan datang beserta dengan teman-temannya. Sekitar 7 orang China datang menginap di sini.

Gue baru tahu kalau rumah gue akan ada kedatangan tamu dari negeri nenek moyang gue sendiri. Agak kaget juga karena jarang-jarang orang asing datang ke rumah gue. Dulu gue pernah bermain dengan orang Malaysia yang datang ke rumah. Dia ngomong bahasa mandarin dengan sangat lancar dan tidak ada satu pun kalimat yang gue paham. Jadi yang gue dengar cuma “cingcongcang.” Yang lebih ajaibnya, gue menjadi akrab dengannya. Karena dia menginap di rumah Paman gue, hampir setiap hari gue kesana hanya untuk bermain dengannya. Dengan dia yang menggunakan bahasa mandarin dan gue menggunakan bahasa “iya” maka ini menjadi salah satu keajaiban dunia. Hubungan diplomasi macam apa ini?

Selama gue bermain dengannya, gue hanya mengiyakan semua perkataan dia. Gue ingat ketika itu dia mengajak gue bermain kartu pokemon. Minimal gue ngerti lah pokemon itu apa. Tetapi ketika gue melihat cara dia bermain, gue mulai bingung. Perpaduan antara bahasa mandarin yang dia keluarkan dengan kartu pokemon yang sulit dimengerti, membuat gue amnesia 10 menit. Waktu itu gue masih SD kelas 3. Kalau aja waktu itu gue bisa bahasa mandarin, mungkin saat ini gue bisa menjadi murid yang jago bahasa mandarin di sekolah. Setiap kompetisi yang berhubungan dengan mandarin pasti gue ikuti. Lomba pidato bahasa mandarin, lomba baca puisi mandarin, lomba nyanyi lagu mandarin, lomba cerdas cermat mandarin, lomba menulis mandarin, atau lomba kreasi bersama bunda dalam bahasa mandarin. Yang terakhir cuma bercanda.

Kembali ke 7 orang China yang datang menginap di rumah gue. Gue sempat agak bingung sih. Dalam situasi tersebut gue sempat mikir, apa yang harus gue lakukan ketika gue bertemu dengan mereka secara tak terduga? Gak mungkin juga ketika gue bertemu mereka secara tak sengaja, gue malah melontarkan kalimat mandarin yang gue bisa, “Wo yao xiao pien.”

Gue ingat, orang Indonesia merupakan orang yang murah senyum. Baiklah, gue menggunakan budaya senyum ala Indonesia. Waktu itu gue bertemu dengan satu orang China laki-laki dan ketika itu dia hendak ke kamar. Gue berjalan menuju arahnya dan kita bertemu. Terus kami bertatap wajah, jantung gue berdetak kencang, dan secara tidak sengaja gue jatuh cinta padanya. Yang terakhir itu cuma bohongan.

Saat gue bertemu dengannya, gue akhirnya menggunakan trik budaya senyum Indonesia. Gue pun tersenyum di depannya dan berhasil. Dia malah kembali membalas senyum ke gue. Itu berarti cara tadi adalah cara sempurna untuk berkomunikasi dengan orang asing. Tapi gak setiap hari gue senyumin juga. Gak mungkin juga ketika dia lagi kebelet boker gue senyumin atau dia terkena serangan jantung gue senyumin. Yang gila siapa sekarang?

Tidak hanya orang tua saja, juga terdapat anak-anak muda. Ada 3 cowok muda dan 1 cewek. Mereka adalah teman saudara gue yang akan menikah ini ketika kuliah di China dulu. Saudara gue yang lain mulai berlomba menggunakan bahasa mandarin dengan baik. Mereka berkomunikasi dengan orang-orang China tersebut dengan akrab. Paman gue dan yang lainnya serta para tamu yang hadir pun ikut berlomba berbahasa mandarin. Anjing gue juga gak mau kalah. Anjing gue juga mulai menggonggong dengan bahasa mandarin. Gue sempat ingin membuat dan membagikan brosur lomba berbahasa mandarin tingkat keluarga di rumah, tetapi kayaknya gak ada yang tertarik.

Gue, Bokap, Nyokap, Abang, dan Adik gue hanya bisa terdiam dan gak bisa apa-apa. Karena dari Bokap gue, hanya kami berlima yang tidak fasih berbahasa mandarin. Waktu itu gue sedang ingin meminjam Nintendo kepada istri saudara gue yang orang China juga. Tapi gue tidak tahu harus ngomong apa. Gak mungkin juga pas gue mau minjem gue bilang “Wo yao xiao pien.” Agak aneh juga gue mau main Nintendo sambil pipis. Saudara gue memberi bantuan. Dia menulis kalimat mandarin dan menyuruh gue untuk memberikan pada istrinya agar gue bisa meminjam Nintendo tersebut. Gue gak berani karena agak aneh juga kalau gue mau pinjam sesuatu tetapi lewat kertas. Gue juga gak bisu, tetapi gak mungkin juga gue minjem dengan menggunakan kertas sebagai alat bantu bahasa gue. Akhirnya, saudara gue pun pergi meminjamkan Nintendo itu ke gue.

Yah, gue merasa ini merupakan daya saing yang amat tinggi, sih. Di sekolah gue juga ada belajar bahasa mandarin, tetapi gue selalu pusing ketika harus membaca huruf-huruf mandarinnya, apalagi gue baru tahu kalau setiap kata dalam bahasa mandarin ada 4 nada yang berbeda dan 4 nada itu beda-beda arti. Ada yang naik, turun, datar, dan naik turun. Agak ribet juga ngomong satu kata tapi nadanya berbeda. Kemarin gue ujian membaca dan syukurlah boleh baca langsung dari bukunya. Namun satu masalah terjadi, gue agak susah membaca kalimat-kalimat mandarin karena tanda nadanya. Mulut gue hampir keseleo ketika membaca kata-kata tersebut.

Suatu hari gue di masakin pangsit oleh mertua saudara gue yang merupakan orang China. Pangsit itu berisi udang dan kalau mau makannya enak harus di campur dengan cuka. Gue menggunakan sumpit dan mengambil satu per-satu pangsit tersebut. Salah satu hal yang bisa gue pamer kepada orang China adalah gue bisa memakai sumpit, meskipun banyak yang bisa juga. Gue makan pangsit tersebut, lalu tiba-tiba mertua saudara gue melihat ke arah gue.

“Hau che ma?” tanya dia, yang artinya “enak gak?”

“Hau che, hau che” kata gue, setengah mengerti. Fiuh, untuk gue mengerti dikit apa yang dia omongin.

Gue sempat mau bilang “Wo yao xiao pien” tapi aneh juga gue mau makan pangsit sambil pipis.